Posts Tagged 'media massa'

Emansipasi Aksi Massa dan Politik

Ada perbedaan mencolok mengenai perihal menyampaikan pendapat di muka umum semenjak runtuhnya orba dari 1998 lalu, para aktivis yang dulu dibatasi kini bisa dengan leluasa menyalurkan aspirasinya. Kerap kita melihat di televisi maupun media massa lainya berita-berita yang bersangkutan dengan demonstrasi dan berbagai hiruk pikuknya. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah demonstrasi mempunyai sikap yang emansipatif? Karena sering juga kita mendengar demonstrasi yang disertai dengan kekerasan dan perbuatan anarki. Untuk mencoba menjawab pertanyaan diatas mungkin pada awalnya kita berangkat terlebih dahulu dari pertanyaan lain : apa yang membuat sekumpulan individu secara kolektif melakukan demonstrasi?

Menurut pendapat saya, mengapa sekumpulan individu melakukan demonstrasi tidak dapat dipisahkan sebagai suatu upaya politik untuk mencapai tujuan tertentu. Politik dalam artian ini, tentu saja bukan berarti semata-mata usaha untuk merebut, meraih, mempertahankan kekuasaan dan sebisa mungkin membuat lawan bungkam. Politik yang saya maksud adalah suatu tempat dimana semua orang, siapapun secara sukarela boleh menyampaikan pendapatnya tanpa halangan apapun.

Menurut Budi Hardiman dalam teori Ruang Publik Habermas, ketidakpatuhan warga atau civil disobedience muncul apabila terdapat proses diskursus yang tidak fair dalam hubungan politik …tidak jarang hubungan-hubungan kekuasaan memblokade akses untuk masukan tertentu sehingga sistem politik tidak lagi mampu menyambungkan diri dengan ruang publik[1]. Maka pihak yang dirugikan atau yang hak diskursusnya dihalangi tersebut dapat memprotes, mempertanyakan aturan-aturan yang diskriminatif untuk dibicarakan kembali.

Namun, patut digaris bawahi pula bahwa ketidakpatuhan warganegara tersebut hanya dapat dilakukan dalam kondisi mendesak dan tidak dilakukan diluar konstitusi negara hukum yang berlaku. Hal ini karena ketidakpatuhan warga adalah gerakan moral, yaitu perihal keadilan sekaligus sebagai peringatan agar tidak terputusnya aspirasi dari ruang publik sebagai sumber legitimasi kekuasaan.

Sedangkan menurut Ludwig von Mises, perlawanan terhadap mayoritas atau penguasa –bahkan dengan jalan kekerasan- adalah jalan terakhir bagi “yang lain” atau minoritas disamping sebaiknya mendahulukan jalan intelektual. Penggunaan kekerasan dalam kekuatan negara merupakan upaya terakhir kelompok minoritas dalam usahanya membebaskan diri dari penindasan kelompok mayoritas. Kelompol minoritas yang ingin melihat gagasanya berhasil harus menempuh perjuangan intelektual untuk menjadi kelompok mayoritas….Negara harus dibangun sedemikian rupa sehingga lingkup hukumya menyisakan ruang gerak bagi setiap orang sehingga bergerak leluasa[2].

Menarik untuk dicermati bahwa kedua tokoh yang memiliki perbedaan latar belakang pemikiran sama-sama berusaha untuk memasukkan ketidakpatuhan warganegara, dengan batasan-batasan tertentu kedalam teori mereka. Dari kedua tokoh diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa gerakan perlawanan tersebut adalah suatu upaya politis untuk mempertanyakan kebijakan penguasa yang tidak adil, dan upaya tersebut merupakan bagian dari pembelajaran politik dari negara demokrasi.

Kemudian, dimana unsur emansipatif dari aksi tersebut? Sebetulnya jawaban dari pertanyaan ini juga terdapat dari tulisan diatas, yaitu untuk memperjuangkan hak yang diabaikan. Namun demikian mengapa kerapkali aksi demonstrasi justru diwarnai dengan kekerasan? Kerusuhan 1998 lalu misalnya memunculkan perkosaan terhadap Etnis Cina.

Massa dalam artian pelaku kekerasan ini tentu bukanlah massa sebagaimana dibicarakan sebelumya. Sekumpulan manusia menjadi “massa” dalam arti ini, jika mereka bertindak dengan mengabaikan norma-norma sosial yang berlaku dalam situasi sehari-hari[3]. Massa itu berubah menjadi teror yang kemudian merepresentasi musuhnya atau lawanya dengan melakukan kekerasan terhadap “yang lain”.

Bila sudah demikian, maka hilanglah sudah sikap emansipasi sebagaimana yang kita bicarakan sebelumnya. Mengapa? Jawabanya sederhana, karena kekerasan yang dilakukan oleh kelompok manusia tersebut telah mengkhianati tujuan awal mereka sendiri. Mereka tidak lagi memperjuangkan aspirasi melawan penguasa yang dianggapnya otoriter melainkan justru menerapkan sikap otoriter itu sendiri.

Di Indonesia, kebebasan berpendapat tertuang dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 dan perihal menyampaikan pendapat diatur dalam UU nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Hal ini tentu berkaitan dengan pemenuhan hak-hak Sipil dan Politik yang dicantumkan dalam UU nomor 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil yang berbeda dengan Hak Ekosob. Dalam pemenuhan Hak Ekosob negara wajib berperan aktif, sedangkan dalam Hak Sipol, campur tangan negara adalah hal yang tidak diinginkan.

Long March dengan tertib

Tidak ada kekerasan dan damai

perwakilan DPRD Semarang membacakan tuntutan

Lewat uraian yang sangat singkat ini tentu kita dapat meraba kapan kita harus mengangguk setuju maupun menolak. Kita tentu setuju bila suatu gerakan massa bertindak dengan tujuan emansipatif, menyalurkan aspirasi yang seringkali tak terdengar otoritas dengan mengingatkan sumber legitimasi kekuasaan negara yaitu rakyat, namun disisi lain kita juga harus waspada dan menolak tiap bentuk kekerasan yang mungkin menyertainya.


[1] F. Budi Hardiman. Demokrasi Deliberatif menimbang negara hukum dan ruang publik dalam teori diskursus Jurgen Habermas. Kanisius. 2009.  Hlm 163

[2] Ludwig von Mises. Menemukan Kembali Liberalisme. Kerjasama Freedom Institute dan Friedrich Naumann Stiftung. 2011. Hlm 70

[3] F. Budi Hardiman. Massa, Teror, dan Trauma Menggeledah Negativitas Masyarakat Kita. Lamalera dan Ledalero. 2011. Hlm 75

Foto dari dokumentasi pribadi


Gravatar

blog sederhana dari pemikiran saya yang juga ndak kalah sederhananya, silahkan dinikmati

ayo-ayo buat yang ga sempet buka blog ini bisa baca via email, gampang kok tinggal klik disini

Bergabung dengan 24 pelanggan lain
Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  
wordpress visitors