Arsip untuk April, 2011

Sekilas Perempuan

Sekilas Perempuan

Dalam perkembangan abad 21 ini, hamper semua hal mengalami perubahan. Mulai dari pergeseran teoritis, filosofis, sampai pada kehidupan sehari-hari. Perang dunia I dan perang dunia II, yang kemudian disusul dengan perang dingin antara blok barat dan timur, runtuhnya tembok berlin pada 1990, dan tidak kalah seru jatuhnya rezim orba oleh kawan-kawan kita pada 1998 lalu. Penemuan-penemuan teknologi  yang memicu semakin derasnya alur perubahan komunikasi yang kini semakin luas menghubungkan tiap titik penjuru bumi, membuat kita bertanya dan terus bertanya, apa lagi? What next?

Tidak luput dari perubahan dan pergeseran yang terjadi tersebut, adalah kisah mengenai perempuan. Apa yang membuat perempuan begitu menarik? Dalam legenda yunani dari epos Hommerus yang tersohor itu perempuan dikisahkan sebagai hukuman atas manusia (man) sehingga Zeus, sang mahadewa memutuskan untuk membuat perempuan ( woman ) untuk mempersulit kehidupan manusia (man) sebagai hukuman karena mencuri api milik Hephasteus. Dikisahkan perempuan pertama yang diciptakan dari tanah liat dan diberi tiupan napas oleh Athena, kemudian diberi nama Pandora. Zeus melalui Hermes dengan dalihnya memberikan Pandora sebuah kotak yang didalamnya berisi seluruh penderitaan ( pain )manusia. Pandora yang memang diciptakan untuk mempersulit laki-laki pun akhirnya mendesak suaminya, Episthemus untuk membukanya meski sebelumnya Episthemus telah diingatkan oleh saudaranya, Prometheus untuk tidak membuka kotak pemberian para dewa. Tapi Episthemus tidak kuasa menahan bujukan Pandora untuk membuka kotak tersebut hingga akhirnya dibukalah kotak yang berisi segala macam kejahatan, penyakit, penderitaan, dan lain-lain buru-buru Ephistemus menutup kotak tersebut. Kini manusia telah dijangkiti oleh berbagai hal kutukan para dewa, namun demikian Ephistemus mendengar suara ketukan dari kotak tersebut dan dibukanya kembali, ternyata ada satu hal yang tertinggal dari kotak tersebut, yaitu : harapan ( hope ) untuk mengatasi segala hal buruk yang keluar sebelumnya.

Cerita diatas cukup menarik untuk diulas. Bagaimana ternyata perempuan, telah dikondisikan sedemikian rupa sejak dahulu (bahkan sampai tertuang dalam bentuk mitologi) sebagai gender kedua setelah laki-laki.  Perempuan (semenjak dahulu) ternyata telah mengalami suatu reduksi mengenai nilai kapasitasnya sebagai “manusia”.

Adalah seorang filosof Athena dan murid Socrates, Plato yang agaknya adalah yang pertama kali berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama dalam memimpin suatu (meski ada juga teorinya yang bias gender) Negara. Hal ini terkait dengan model Negara Aristokrasi yang dianggapnya adalah bentuk pemerintahan yang ideal dimana Negara tersebut dipimpin oleh para filsuf yang bijaksana sehingga tidak perlu memandang jenis kelamin.

Akan tetapi pandangan positif mengenai perempuan tersebut ternyata tidak dilanjutkan oleh muridnya yang juga filosof Athena; Aristoteles. Menurut Aristoteles, perempuan adalah manusia yang tidak sempurna secara seksual dibandingkan laki-laki. Aristoteles memandang Negara berbentuk seperti manusia dan makhluk hidup, maka dari itu, dia berpendapat bahwa perempuan dengan organ dan sifat pasifnya dalam hubungan seksual sebagai kelas yang lebih rendah tingkatanya daripada laki-laki.

Celakanya,  justru pendapat Aristoteles (termasuk mengenai ketimpangan gender)-lah yang banyak dijadikan acuan pada masa abad pertengahan. Masa abad pertengahan adalah masa dimana pengaruh kuat doktrin agama dalam segala aspek. Kelahiran Yesus Kristus (1 M) dan Muhammad (7 M ) yang kemudian menjadi dua agama terbesar didunia (Islam dan Nasrani), pada abad pertengahan banyak menjadikan pemikiran-pemikiran Aristoteles sebagai rujukan. Nicolaus Copernicus adalah contoh yang popular, pemikiranya mengenai Heleosentris yang bertentangan dengan pendapat Aristoteles dan Gereja dikala itu membuatnya dihukum mati, begitu juga pencongkelan mata Galileo oleh inkuisisi Gereja,

Rennesaince , Illumination, dan Aufklarung atau abad pencerahan yang diawali dengan dualism Cartesian oleh Rene Descartes tidak kunjung memberikan angin segar bagi perempuan. Schopenhauer, bahkan seperti mengulang Aristoteles dengan mengatakan bahwa “perempuan adalah makhluk tengah antara anak-anak dan pria dewasa”. Tekanan represi terhadap perempuan kemudian menimbulkan penyakit mental berupa Hysteria yang kala itu didaulat sebagai penyakit eksklusif milik perempuan (dari kata latin hysteros yang berarti rahim).

Feminisme sebagai Antitesis

            Rupanya represif gender dari laki-laki kepada perempuan mulai melahirkan antithesis. Gerakan-gerakan feminism dengan berbagai sudut pandang mulai menggugat dan mengajukan redefinisi mengenai “siapa itu manusia?”

Terdapat beberapa pandangan mengenai Feminisme, jadi feminism bukanlah sebuah gerakan tunggal, dia lebih tepat bila dilihat sebagai sebuah pohon besar dengan banyak cabang-cabang. Berikut adalah beberapa jenis gerakan feminism secara garis besar:

  1. Feminism liberal :

Gerakan feminism liberal beranggapan bahwa kesetaraan gender dapat diperoleh melalui tekanan politik dan struktur hokum sehingga memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan.

  1. Feminisme Radikal :

Menurut Feminisme Radikal, tekanan politik dan struktur hokum saja tidaklah cukup, standar patriarkhial seharusnya dicabut hingga ke-akar-akarnya. Gerakan ini kemudian terbagi dalam 2 kubu besar yaitu Radikal Libertarian yang beranggapan bahwa setiap orang sebaiknya berhak menjadi androgin untuk mengeksploitasi baik sisi maskulin maupun feminine, yang kedua adalah Radikal-kultural beranggapan bahwa susunan patriarkhial dimulai dari penomor-duaan sisi feminine. Hal ini tercipta melalui eksploitasi tubuh perempuan, pornografi, prostitusi, dan lain-lain. Jadi mereka menolak hal-hal tersebut dan mengutarakan bahwa perempuan seharusnya bebas melakukan eksperimen seksual (bukan hanya dikendalikan oleh laki-laki).

  1. Feminisme Marxis-sosialis :

Sesuai dengan namanya, feminis marxis-sosialis didasarkan pada teori konflik antar kelas; borjuis dan proletar, dimana oposisi binair keduanya juga terbawa pada ketidakadilan ranah kerja bagi perempuan. Upah dan status yang lebih rendah dan hanya dianggap sebagai pekerja sekunder.  Mereka berpendapat bahwa kesetaraan tidaklah mungkin diperoleh dari system masyarakat berkelas.

  1. Feminisme Psikoanalisa

Psikoanalisa adalah sebuah teori psikologi yang dikembang oleh Sigmund Freud. Psikoanalisa membagi manusia menjadi 2 bagian; alam sadar super-ego dan ego dan alam bawah sadar: Id dimana pada kenyataanya manusia lebih banyak dikontrol oleh alam bawah sadarnya. Maka Feminis Psikoanalisa berpendapat bahwa ketidaksetaraan gender berakar dari pengkondisian masa kanak-kanak dimana laki-laki identik dengan maskulinitas dan perempuan dengan fiminitas juga bahwa oposisi binair yang mengatakan maskulin lebih baik daripada feminin.

  1. Feminisme Kulit Hitam

Hal yang dilupakan oleh gerakan feminism adalah bahwa gerakan mereka terbatas pada kelas atau etnis tertentu saja. Feminisme kulit hitam didasarkan pada fakta bahwa selain mendapatkan represi dari segi rasial, mereka juga mendapatkan tekanan secara gender.

  1. Feminisme Eksistensialisme

Feminisme dengan pendekatan eksistensialisme dari Jean Paul Sartre, melalui karya The Second Sex dari Simmone de Buvoir. Pada pendekatan ini perempuan dikatakan sebagai “yang lain” (the others) dari laki-laki karena posisinya yang selalu tersubordinasi dari laki-laki. Eksistensialisme mendorong setiap perempuan untuk menemukan sendiri caranya dalam bereksistensi.

  1. Feminisme Postmodern

Postmodern, gerakan menolak permarginalan dalam hegemoni tunggal, juga diterapkan pada gerakan feminism, banyak dipengaruhi oleh Irrigay,Derrida, Kristeva, Lacan, juga pengembangan dari feminism eksistensialisme Simmone de Buvoir, dengan mengakui ke-berbedaan-(keliyanan) perempuan sebagai bentuk keterbukaan dan keberagaman.

H.  Ekofeminisme

Beranggapan bahwa subordinasi laki-laki pada perempuan terkait dengan eksploitasi manusi terhadap alam. Maka, pembebasan perempuan juga harus dibarengi dengan penghentian eksplorasi yang merusak lingkungan hidup.

 

 

 

Menuju Keberagaman

Kita telah melihat beberapa aliran dari feminism, dengan tidak menutup munculnya perspektif baru dalam gerakan feminism yang mungkin akan lahir. Bila kita cermati dalam kehidupan sehari-hari, gerakan-gerakan tersebut sebenarnya sudah mulai muncul dan tumbuh, meski tak kalah sering juga kita menemukan bias maupun diskriminasi gender di lingkungan kita.

Pergeseran hubungan seks misalnya, dahulu pandangan perempuan mengenai hal ini adalah bahwa perempuan merupakan ladang dan laki-laki adalah penanam benih, dimana berarti laki-laki mengendalikan seksualitas perempuan melalui institusi-institusi tertentu (rumah sakit, psikolog, pemuka agama) kini telah bergeser. Perempuan kini tidak lagi tergantung pada laki-laki dalam hal seks, dildo,atau variasi seksual lainya (atau bahkan lesbian) membuat perempuan dapat memenuhi kebutuhan seksnya sendiri tanpa laki-laki (sekarang banyak gerakan HAM mengenai lesbian dan homoseksual).

Saya sependapat dengan kutipan dari Simmone de Buvoir yang mahsyur itu, “one, isn’t born as a woman, yet become a woman” ya, seorang perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, tapi menjadi perempuan, yang berarti perempuan bebas dari definisi yang mengungkungnya, untuk kemudian berada diproses “menjadi”, menjadi seorang perempuan, boleh menjadi akuntan, binaragawan, pembalap, astrounout, atau apapun!

Terlebih dikala zaman semakin menuju ke arah keberagaman semenjak dibukakanya gerbang postmodern melalui teriakan “Tuhan sudah mati” dari Nietszche di penghujung modernitas abad 19. Ya, kini manusia berhak memilih hidupnya, perempuan berhak menjadi apapun, mereka telah memperoleh hak pilih di tahun 1920, semenjak diperjuangkan di Saneca Falls pada 1848, sekarang mereka berhak mendapat pendidikan yang sama, berhak menempati posisi di pemerintahan, perempuan, bersama dengan laki-laki kini bisa menentukan arah bersama mengenai siapa dan apa itu manusia.

Kembali ke awal, kita tidak boleh lupa bahwa subordinasi seksual dan gender telah mengakar semenjak era sebelum masehi, sehingga membebaskan diri dari dogmatism yang terbentuk dan diwariskan secara turun-menurun bukanlah hal yang mudah. Hal itulah yang –karena sedemikian mendarah daging – seringkali dijadikan alasan karena kita begitu nyaman terlena.

Alangkah indahnya bila kini, laki-laki, perempuan, maupun transgender, beragama maupun tidak, apapun latar pendidikan, ekonomi, ras, orientasi seksual, ideology, atau apapun, bergerak bersama sebagai manusia untuk kembali pada prinsip dasar golden rule etika : “Berbuatlah sebagaimana ingin diperbuat”,Bila demikian, bukan hal yang aneh bila besok, barangkali kita menjumpai adik-adik kecil di sekolah dasar menjawab atas pertanyaan klasik anak Indonesia:

“Bapak pergi ke …(salon, pasar, atau manapun)….”

“Ibu pergi ke …(kantor, melaut, atau kemana saja dia suka)….”

 

Daftar pustaka :

Jones, pip. Pengantar Teori-teori sosial. Yayasan Obor Indonesia. 2009.Jakarta.

St.Sunardi. Nietszche. LKiS.2009. Yogyakarta

Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought. Jalan Sutra. 2010.Yogyakarta.

O’Donell, Kevin. Postmodernisme. Kanisius.2009.Yogjakarta.

Deliberasi Hukum

Abad 20 telah kita lewati dan tanpa terasa dan sadari sinar pagi abad 21 sudah menyongsong didepan. Bila kita melongok lebih kebelakang lagi, sebenarnya selama sejarah manusia telah terjadi beberapa perubahan dan pergeseran dari berbagai aspek kehidupan. Mulai dari pemikiran dengan dominasi mistisisme, yang kemudian dilanjutkan secara filosofis, hingga dari segi ilmu pengetahuan yang senantiasa dinamis bergerak mengikuti alur jaman dan menciptakan era yang berbeda-beda demi menjawab tantangan di tiap-tiap generasi.

            Saya akan mencoba sedikit mengupas mengenai hal-hal pokok yang terjadi selama masa modern bawaan dari abad pencerahan dari Rennesaince, Illumination, hingga Aufklaung, yang mempengaruhi pula perkembangan paradigm terhadap hokum. Meski demikian, pembahasan yang saya bawa tidak akan melulu monoton mengenai hokum tetapi juga akan menyangkut beberapa segi keilmuan lainya karena menurut hemat saya, suatu ilmu pengetahuan tidaklah dapat berdiri sendiri benar-benar terpisah dari dunia keilmuan lainya.

            Suatu perubahan, akan membawa kita pada perubahan lainya, seperti keterbukaan teknologi informasi yang turut membawa perubahan dalam segi social dan menciptakan kebutuhan baru, sehingga terjadi dekonstruksi social dalam masyarakat.

           Tujuan untuk mengingatkan kita pada sebuah pertanyaan klasik mengenai “Siapa kita sebenarnya?” dan “Pada jaman apa kita berdiri sekarang?” “Apa itu benar dan salah?” “Apa yang seharusnya kita perbuat?” Semuanya memang sekilas tidak lebih dari pertanyaan yang sederhana, remeh-temeh, tapi kalau kita mau menggali sedikit lebih dalam dari pertanyaan semacam itu, barangkali kita kemudian akan tercenung karena jawabanya tidaklah semudah yang dibayangkan.

            Pertanyaan dari kegelisahan itu akan selalu timbul dan melewati redefinisi-redefinisi yang usianya bahkan sama dengan usia sejarah umat manusia. Ketundukan Socrates dengan meminum racun dari cara berpikir orang yunani yang dikritisinya, Penyaliban Kristus, lahirnya Muhammad, pembakaran Copernicus, pencongkelan mata Galileo, berkembangnya rasionalitas dari Descartes hingga pewartaan matinya tuhan oleh Nietszche, Perang Dunia I dan II, munculnya Madzhab Frankurt, pendaratan di bulan, semuanya saling sambung menyambung, hal yang satu muncul sebagai kritisi dan jawaban dari sebuah usaha untuk melampaui jamanya.

            Satu hal yang pasti dan tidak dapat kita elakkan adalah sebuah kenyataan bahwa sekarang, saat ini, adalah zaman kita. Seringkali kita terlampau asyik berkutat dengan kehidupan sehari-hari hingga tidak memperdulikan kemana sebenarnya zaman ini bergerak, terhanyut kedalam arus besar, cerita-cerita besar, mainstream, metanarasi, yang seringkali mereduksi arti “manusia” hanya sebagai “manusia yang memenuhi kriteria mainstream” dan memarginalkan “yang lain”.

            Menjembatani berbagai kepentingan dan menuju kepentingan bersama, mungkin terdengar sulit tercapai dan tidak realistis mengingat banyaknya tatanan nilai yang menjadi acuan penghakiman tentang “apa itu manusia”.

            Namun demikian saya justru melihat kemungkinan besar tercapainya tujuan yang terjembatani bersama dengan meminimalisir pemarginalan dengan satu kata sederhana yang sebenarnya telah akrab di telinga kita (meski sekarang mungkin sudah banyak dilupakan) yaitu : musyawarah, diskursus. Tentu saja diskursus yang saya maksudkan disini adalah sebuah arena yang adil dan fair untuk semua peserta atau bahkan yang bukan peserta sekalipun. Lalu, bagaimana penerapanya diskursus didalam hokum?

Tahapan-tahapan

Tan Malaka, salah satu anak bangsa dalam bukunya MADILOG (materialism, dialektik, logika) sempat mengungkapkan bila bangsa kita mau benar-benar merasakan kemerdekaan maka harus melewati beberapa tahapan dimana antara lain ; Logika mistis yaitu pemikiran yang masih kental dengan mistisisme yang kemudian akan memacu manusia untuk senantiasa bertanya dalam fase Filosofis dan Ilmu pengetahuan beserta cabang-cabangnya pada fase ketiga.

Era Pencerahan

Berusaha keluar dari kungkungan dogmatism, adalah ciri yang sangat mencolok di era pencerahan. Namun demikian, era pencerahan juga masih enggan meninggalkan dogmatism agama, sehingga membuat satu kaki berpijak pada akal manusia, dan satu kaki lainya masih berada di awing-awang keagamaan.

Dimulai dari itali oleh Rene Descartes dengan dualism Cartesian-nya, semangat ini kemudian menyebar hingga pemikir macam Bacon, Voltaire, Diderot, Locke, Hobbes, Kant, Rousseau, Montesque, Husserl, dan lain-lain. Makalah ini akan membahas mengenai pemikiran dari beberapa tokoh diatas.

berbuatlah sebagaimana maxim perbuatanmu diterima secara universal´- Immanuel Kant

            Immanuel Kant adalah seorang yang dikenal dengan teori Imperatif Kategoris yang kemudian banyak menjadi rujukan dan kritisi dari para filosof etika sampai abad keduapuluh mulai dari Alen Ayer hingga Habermas. Dari teori tersebut maka dapat dipetik bahwa perbuatan baik adalah kewajiban dari manusia tanpa mengharapkan timbale balik apapun (termasuk didalamnya pahala agama). Jadi manusia berbuat baik karena dia memang sudah seharusnya berbuat baik, titik.

            Maka teori hokum dari Immanuel Kant pun juga diangkat dari Imperatif Kategoris tersebut. Kant memasukkan hokum kedalam rasio praktis yang berarti mengenai apa yang seharusnya diperbuat oleh manusia. Karena Imperatif Kategoris bersifat otonom, maka hokum pun juga harus mempunyai sifat keharusan yang otonom dengan peraturan yang sifatnya heteronom dan harus dipatuhi terlepas dari apapun motifnya.

            Beralih pada tokoh Perancis, J.J.Rousseau menolak apa yang disebut sebagai kekuasaan absolute. Rousseau memiliki pandangan yang mirip dengan Locke dan Hobbes yang beranjak dari sebuah kontrak social.

            Namun berbeda dari kedua tokoh dari daratan Inggris tersebut, Locke dengan keadaan asali dan Hobbes dengan Homo homini lupus dan Negara sebagai Leviathan-nya, Rousseau berpendapat bahwa manusia yang tadinya bebas dari kungkungan aturan, untuk kemudian menyerahkan haknya untuk hidup secara teratur. Maka Rousseau berpendapat bahwa hokum adalah milik public, dan bukan hanya kekuasaan penguasa tunggal saja, karena dia adalah wujud dari kemauan dan kepentingan bersama.

            Rousseau yang pada dasarnya bersifat pesimis pada kemajuan manusia, ( seperti missal ekonomi dari keserakahan dan etika dari kesombongan antar kelas ) menaruh harapanya pada hokum untuk menuju hidup yang berdasar keadilan dan kesusilaan. Ada kebebasan individu sebagai warga Negara yang kemudian di batasi oleh keinginan umum.

            Hukum yang berasal dari kehendak umum tersebut berarti setiap orang, setiap individu harus tunduk pada kepentingan umum. Hal ini adalah cikal bakal dari paham demokratis. (hal tersebut kemudian banyak dikritik karena Rousseau terlalu terpaku pada suara mayoritas dan menenggelamkan minoritas).

            Masih di Perancis, Montesquieu Dalam L’Esprit das Lois (Roh Hukum) dia berpendapat bahwa system hokum merupakan hasil dari kompleksitas berbagai factor empiris kehidupan manusia. Menurut Montesquieu, ada dua factor pembentuk struktur social dan hokum, yaitu factor fisik yang meliputi kondisi alam masyarakat itu tinggal, dan factor moral yang meliputi agama, adat istiadat, kebiasaan, dan lain-lain.

            Karena pada tiap masyarakat mempunyai kondisi yang berbeda, maka relativisme juga berlaku di teori Montesquieu. Perbedaan kondisi alam dan budaya pada suatu masyarakat tentu menyebabkan perbedaan nilai yang dianut yang membedakan dari masyarakat lain.

 Sumbangan dari Montesquieu yang berharga antara lain adalah sumbanganya dalam bentuk pemerintahan. Montesquieu berpendapat bahwa bentuk pemerintahan Republik dengan pemisahan kekuasahan (power separation) adalah bentuk yang paling memungkinkan disbanding model lain. Dengan adanya pemisahan kekuasaan antara eksekutif, yudikatif, dan legislatif, maka akan menghindarkan dari penyalahgunaan wewenang karena diantara ketiganya terdapat asas check and balances yang membatasai ruang gerak dari masing- masing lembaga.

Power Separation sebenarnya telah ada dalam teori John Locke dan J.J. Rousseau, namun bentuk Trias Politica dari Montesquieu menyempurnakan teori dari keduanya. Dengan pembatasan dari Trias Politica tersebut, para warga Negara juga bisa turut serta dalam aktifitas politik.

 Pintu Gerbang Perbatasan

Sekali lagi manusia mengalami pergeseran, revolusi perancis, revolusi industri, turut menyumbang poin perubahan. Paham liberal yang dimulai oleh John Locke mendapat tantangan keras dari Marx dengan Komunisme dan revolusi protelarnya yang menjungkir balikkan ajaran para Hegelian.

Beberapa tokoh yang juga ikut meramaikan era ini adalah positifisme dari Augusto Comte, kehendak manusia dari Arthur Schopenhauer, lompatan eksistensialisme dari Krierkegaard, pendekatan fenomenologi dari Edmund Husserl .

“Tuhan sudah mati” – F. Nietzsche

            Dari banyaknya tokoh yang muncul, muncul tamparan keras dari jerman. Dia adalah Friedrich Nietszche yang melakukan kritisi atas modernitas, sekaligus membuka gerbang postmodernisme yang kini ramai diperbincangkan. Nietzsche muncul dengan gaya filsafat yang bisa dibilang nyentrik dengan menggunakan aforisme-aforisme pada karya-karyanya. Dengan penuh semangat dia menahbiskan dirinya sebagai nabi yang terlahir bukan untuk zamanya, namun untuk masa sesudahnya.

            Nietzsche berusaha meruntuhkan segala bentuk dogmatisme, termasuk didalamnya agama, Negara, ilmu pengetahuan, metafisika, dengan mengatakan melalui mulut Zarathrusta bahwa tuhan sudah mati, dan manusia kembali pada nihilisme. Mengadopsi teori kehendak buta dari Schopenhauer, Nietzsche mengatakan kalau kita ber-ada tidak lain adalah karena kehendak untuk berkuasa ( will to power). Dan manusia adalah sebuah rentangan dari hewaniah di satu sisi dan adimanusia (ubermensch) di ujung yang lain.

            Singkatnya, Nietzsche berniat menghancurkan era modernism yang terlalu kental pada pencarian kebenaran logos yang justru mengarah pada logosentrisme dan oposisi binair, Bahkan Nietzsche mengatakan kalau kebenaran adalah ilusi yang keilusianya tidak tampak.

            Serangan terhadap modernism ternyata terus berlanjut bahkan setelah kematian Nietzsche di tahun 1900. Munculnya psikoanalisa dari Freud, yang disusul eksistensialisme Sartre dan Simmone de Buvoir. Munculnya Perang Dunia I dan II membuar prihatin sejumlah cendikia termasuk Adorno, Gadamer, dll. Mereka kemudian sepakat berkumpul di Frankurt yang kemudian dikenal sebagai Madzhab Frankurt. Namun rupanya Madzhab Frankurt pun justru mengarah pada pesimisme pada masa depan pengetahuan.

            Tapi waktu terus bergulir, dan modernism lambat laun terus terkikis. Michael Fouccault, Muhammad Iqbal, Francis Lyotard, Betrand Russel, Julie Kristeva, hingga filsuf kondang Jacques Derrida dan Jurgen Habermas turut meramaikan kejatuhan era modernism.

            Catatan : Gerakan yang mencolok dari era modernism antara lain gerakan feminism, dan munculnya gerak balik melawan kapitalisme, gerak balik menuju budaya local, dll.

 Menuju Hukum yang Deliberatif

            Lalu bagaimana dengan hokum? Apakah juga mengalami pergeseran? Jawabanya adalah “iya”. Pada ranah hokum juga turut muncul paham yang seakan mengikuti tantangan yang terdapat pada tiap era. Muncul aliran-aliran Neo-Kantian, dari Kelsen sampai Radbruch, Neo-positivisme Max Webber, bahkan juga muncul Neo Marxis dan Feminist Legal Theory.

            Bila modernism kental berkutat dengan pencarian “Benar” dengan berusaha menggiring pada satu aliran besar logos, maka Post-modern justru berusaha memecah aliran besar tersebut dan mengajak untuk mengatakan “ya-pada-hidup” (ja sagen). Permasalahanya adalah, bagaimana mengakomodir kepentingan sedemikian banyak elemen?

            Permasalahan tersebut juga muncul pada ranah hokum. Menurut Jurgen Habermas yang dikutip oleh Fransisko Budi Hardiman di bukunya “Demokrasi Deliberatif”, Habermas berpendapat kalau hokum muncul bersamaan sekaligus terpisah dengan dunia moral dari Sittlickheit ( dunia tradisional ). Kenapa? Karena pada era sekarang, Sittlickheit dianggap tidak bisa memenuhi semua pertanyaan sehingga membutuhkan penjelasan rasional, maka disini Habermas dan Hardiman berpendapat kalau hokum beserta proses pembuatanya adalah jawaban rasional.


            Habermas juga mengambil Lebenswelth (dunia subyektif) dari fenomenolog Husserl, namun disini Habermas menggunakanya justru sebagai modal, yaitu suatu pandangan untuk mencapai consensus dalam proses diskursus.

            Teori Diskursus Habermas berangkat dari kritik atas rasio praktis imperative kategoris Imannuel Kant.Filsafat Kant terlalu kental nuansa logosentrisme-nya. Hal ini bisa dilihat dari maximnya yang tersohor tersebut. Menurut Habermas, seseorang tidaklah bisa bertindak atas dasar penilaian moralnya seorang diri, dan hal tersebut haruslah diperbincang dalam sebuah diskursus untuk mencapai tujuan bersama.

            Menurut Habermas dan Hardiman, hokum yang legitim adalah hokum yang diterima secara intersubyektif. Agar hokum dapat diterima secara intersubyektif maka dia harus mampu berfungsi secara dualism. Dualisme disini adalah hokum harus mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana komunikatif, tapi juga sekaligus mampu bersifat strategis, mampu mengakomodir lebenswelth sekaligus system (system ekonomi, pemerintahan, dll) sebagai penjaga kebebasan sekaligus memaksa keharusan dalam kewajiban.

                                                                                            

            Sifat akomodir dua kepentingant tersebut baru bisa dipenuhi setelah sebelumnya melalui proses diskursus. Namun demikian bagaimana seseorang dapat memperoleh keanggotaanya sehingga diskursus dapat berlangsung adalah permasalahan yang lain, maka Habermas berpendapat bahwa untuk dapat melegitimasi hokum melalau diskursus maka tiap orang pastilah memiliki Hak-hak dasar, namun hak-hak dasar tersebut juga sebelumnya harus dilegitimasi juga, melalaui sebuah otonomi politis. Jadi disini Hak-hak dasar dan Otonomi Politis keduanya bersifat saling mengandaikan, komplementer.

            Tidak hanya berhenti sampai disitu, Habermas juga melengkapi Check and Balance dari Trias Politica Montesqiueu dengan mengatakan kalau pembagian ketiga kekuasaan berdasarkan eksekutif, legislative, dan yudikatif saja tidaklah cukup.

            Habermas berpendapat bahwa kekuasaan politis baru dapat terlaksana dalam bentuk hokum dan sebaliknya, hokum hanya dapat diberlakukan dan dijamin oleh kekuasaan politis. Dengan demikian dia telah bertindak lebih jauh lagi dengan mengembalikan rakyat pada sumber kekuasaan. Jadi diluar ketiga unsure check and balance. Jadi ada satu unsure lagi yang ditambahkan oleh Habermas, yaitu teorinya yang terkenal mengenai Ruang Publik.

            Pada ruang public, Rakyat ditempatkan pada sebuah proseduralisme. Bila pada Diskursus bertujuan untuk melakukan koreksi nilai untuk mendapat kesepakatan, maka proseduralisme bertujuan untuk melakukan koreksi kembali pada realisasi hasil diskursus. Jadi rakyat tidak ditempatkan pada suatu kekuasaan terpusat semacam MPR, hal ini juga merupakan solusi dari metode demokrasi Rousseau yang mengatakan bahwa seluruh rakyat harus hadir pada sebuah musyawarah.

            Pada era Rousseau permasalahan yang belumlah serumit yang ada sekarang, dimana jumlah penduduk dan kondisi geografis yang berbeda-beda membuat teori Rousseau tersebut terasa sangat tidak realistis. Melalui Ruang Publik, hal tersebut dapat terjembatani, karena keberadaan Ruang Publik itu sendiri tidak terbatas. Dia ada sepanjang terdapat aspirasi dan bertemunya masyarakat yang saling mengeluarkan pendapatnya.

            Sering kita jumpai belakangan ini kerap terjadi demonstrasi menentang peraturan yang diterapkan oleh lembaga legislative maupun pemerintah, hal itu menunjukkan keberadaanya sebagai fungsi proseduralis. Namun demikian bukan berarti keberadaan Ruang Publik ini tanpa kritik, kita juga mendapati bahwa pihak penguasa, yang memanfaatkan kekuasaanya dengan melakukan penggiringan opini. Maka sebaiknya untuk mengimbangi hal tersebut masyarakat sebagai ruang public, sebagai sumber dari kekuasaan, sebagai tempat berlangsungnya, muara dari peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga penguasa juga kritis terhadap apa yang terjadi, contoh yang menarik adalah keberadaan Wikileaks yang membuat gempar inteligen Amerika.

            Sebagai tempat berlangsungnya Proseduralis dan sekaligus Sumber Kekuasaan, rakyat pada akhirnya dapat melakukan revisi pada hokum yang telah dikeluarkan. Disinilah Proses diskursus kembali berputar sehingga menimbulkan hokum yang bersifat dinamis.

 Kesimpulan dan Saran

Kita telah mengamati bahwa hokum ternyata juga mengalami perubahan seiring dengan perkembangan yang terjadi disekitarnya. Pada perjalananya, dia senantiasa mengalami evolusi dan melengkapi kekurangan masa sebelumnya.

Pada hokum yang diperoleh dari hasil Diskursus, dia senantiasa berada pada ranah yang siap untuk dikoreksi. Perkembangan teknologi dan pendidikan juga mempengaruhi efektifitas dari teori ini. Kemunculan alat komunikasi yang semakin canggih terasa semakin mendekatkan kita dari bentangan kondisi geografis. Bila demikian maka Ruang  Publik akan semakin terbuka, arus informasi juga semakin meluas dan dapat dimiliki oleh setiap masyarakat.

Namun demikian, penggiringan wacana adalah suatu momok yang ditakuti yang mengganggu keadilan dari keberlangsungan proses diskursus dan proseduralisme. Bagaimanapun juga Ruang Publik yang benar-benar terbuka –lah yang menjanjikan terus berlangsungnya check and balances.

Ruang public juga mengingatkan kita bahwa hokum (formil) bukanlah jalan satu-satunya, meski kita harus akui potensinya sebagai pengatur yang mempunyai fungsi yang tegas. Prosuderalisme mengingatkan kita bahwa rakyatlah sumber sekaligus muara dalam tiap peraturan hokum, maka hokum yang dapat dikoreksi melalui proseduralisme juga tidak dapat berdiri sendiri seolah-olah sebagai satu elemen penentu, Hukum juga dalam sejarah perkembanganya tidak dapat berdiri sendiri, selalu terdapat kaitan interdependensi dengan bidang lainya karena toh hokum pada akhirnya tidaklah lebih dari pengejawantahan dari golden rule :

Berbuatlah sebagaimana ingin diperbuat

Berikut adalah kutipan dari buku Franz Magnis Suseno, Etika Abad Kedua puluh yang saya kira sangat relevan bila ditempatkan pada bagian akhir makalah ini. Franz Magnis Suseno mengajak kita untuk mewujudkan bersama-sama :

  • Sebuah budaya nir-kekerasan dan hormat terhadap kehidupan
  • Sebuah budaya solidaritas dan tatanan ekonomis yang adil
  • Sebuah budaya toleransi serta kehidupan dalam kejujuran
  • Sebuah budaya untuk kesamaan hak dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan

 Daftar Pustaka

Hardiman, Fransisko Budi. Demokrasi Deliberatif. Kanisius, 2009

Hardiman, Fransisko Budi . Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Gramedia, 2004

St. Sunardi. Nietszche. LKiS, 2009

Tanya, Bernard L, dkk. Teori Hukum. Genta Publishing, 2010

O’Donnel, Kevin. Postmodernisme. Kanisius, 2009

Suseno, Franz Magnis. Etika Abad Kedua puluh. Kanisius 2006

Urgensi Garis Pangkal Kepulauan

NB. sekali-kali ngepost tugas di blog ah, sekalian ngebantuin Undip di webometris.

“Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampaiMerauke!
Sumber: Soekarno, “Pidato di Surabaya, 24 September 1955”

  1. A.    Pendahuluan

Makalah ini akan membahas mengenai pentingnya penarikan garis pangkal lurus kepulauan di Indonesia. Seperti yang kita ketahui bersama, Indonesia sebenarnya telah mengusahakan penarikan garis pangkal lurus dengan dikeluarkanya Deklarasi Djuanda. Penarikan garis pangkal lurus kepulauan menjadi penting mengingat keberadaan Indonesia yang berupa Negara Kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau dengan panjang garis pantai 81.290 km, ditambah Luas wilayah laut Indonesia sekitar 5.176.800 km2 membuat keberadaan garis pangkal lurus kepulauan vital perananya untuk menutup wilayah kedaulatan laut menjadi sama dengan kedaulatan di wilayah daratnya sekaligus untuk menyatukan wilayah nisantara.

Akhirnya melalui United Nations Convention for the Law of the Sea 1982 tertuang juga ketentuan mengenai ditariknya garis pangkal lurus kepulauan pada pasal 47 UNCLOS 82. Kemudian diundangkan di Indonesia dengan pasal 5 ayat (1) dan (3) UU Nomor 6 1996 dan dikeluarkanya PP 38 tahun 2002 yang menetapkan koordinat garis pangkal kepulauan yang tercantum pada pasal 3.

Pasal 5 ayat (1) dan (3) UU nomor 6 tahun 1996

  • (1) Garis pangkal kepulauan Indonesia ditarik dengan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan.
  • (3) Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah garis -garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang- karang kering terluar dari kepulauan Indonesia.

 

Pasal 3 PP 38 Tahun 2002

  • (1) Di  antara pulau-pulau terluar, dan karang kering terluar kepulauan Indonesia, garispangkal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah Garis Pangkal Lurus Kepulauan.
  • (2) Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada Garis  Air Rendah pada titik terluar pulau terluar, dan karang kering terluar yang satu dengan titik terluar pada Garis Air Rendah pada titik terluar pulau terluar, karang kering terluar yang lainnya yangberdampingan.
  • (3) Panjang Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak boleh melebihi 100  (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah keseluruhan Garis Pangkal Lurus Kepulauan dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut.
  • (4) Penarikan Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan tidak terlalu jauh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan.
  • (5) penarikan Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilakukan dengan memanfaatkan titik-titik  terluar pada  Garis  Air Rendah pada setiap elevasi surut yang di atasnya terdapat suar atau instalasi serupa yang secara permanen berada di atas permukaan air atau elevasi surut yang sebagian atau seluruhnya terletak pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari Garis Air Rendah pulau terdekat.
  • (6) Perairan yang terletak pada sisi dalam Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat  (1)  adalah Perairan Kepulauan dan perairan yang terletak pada sisi luar Garis Pangkal Lurus Kepulauan tersebut adalah Laut Teritorial”

 

 

  1. B.     Pembahasan :

 

Beberapa jenis wilayah perairan .Sebelum beranjak lebih jauh mengenai garis pangkal lurus kepulauan, mari kita lihat sekilas mengenai beberapa wilayah perairan yang berlaku secara internasional berdasarkan UNCLOS 1982 berikut ini :

  1. Perairan Pedalaman :

Adalah perairan yang terletak pada sisi darat dari garis pangkal yang dipakai untuk menetapkan laut territorial suatu Negara. Perairan pedalaman ini diperoleh dari menarik garis penutup pada mulut sungai, teluk, dan pelabuhan yang berada pada perairan kepulauanya. Pada perairan pedalaman, kedaulatan Negara berlaku mutlak baik di laut mapun udara tanpa adanya pengecualian dari ketentuan Hukum Internasional seprti Hak Lintas Damai, dan lainya.

  1. Laut territorial :

Laut yang memiliki kedaulatan sebagaimana diwilayah darat dan ditarik 12 mill dari garis pangkal. Pada laut territorial ini Negara berhak mempertahankan kedaulatan udara dan lautnya namun demikian ada pengecualian melalui hak lintas damai (Innocent passage) bagi kapal-kapal asing.

 

  1. 3.      Zona tambahan (Contigeus Zone)  :  

24 Mill dari garis pangkal, pada zona tambahan ini Negara hanya memiliki hak berdaulat pada permukaan laut dan terbatas pada pelanggaran-pelanggaran tertentu seperti bea cukai, saniter, dan imigrasi. Pada wilayah ini Negara tidak memiliki kedaulatan pada wilayah udaranya sehingga pesawat terbang asing berhak melintas diatasnya.

  1. ZEE (Zona Ekonomi Eklusif) :

wilayah laut 200 mill dari garis pamgkal, pada wilayah ini Negara memiliki kedaulatan pada kolong air berupa pemanfaatan SDA hayati yang terdapat pada kolong air tersebut. Dengan demikian, permukaan laut dan wilayah udaranya adalah merupakan wilayah laut bebas sehingga kapal maupun pesawat terbang asing berhak melintas diatasnya.

  1. Laut Bebas :

Adalah area diluar ZEE yang telah ditetapkan sebagai Common heritage of all mankind sehingga tidak dapat dilakukan klaim dari Negara manapun untuk menguasai, namun berhak untuk memanfaatkan. Jadi baik ruang udara maupun wilayah laut dari laut bebas ini bebas bagi seluruh kapal dan pesawat terbang untuk melintasinya.

Dari ilustrasi sekilas diatas, kita sekiranya dapat membayangkan dan memahami pentingnya keberadaan garis pangkal lurus kepulauan bagi Indonesia karena bentuk Negara kita yang secara geografis terpisah-pisah oleh lautan dan terdiri lebih dari 17.000 pulau di penjuru nusantara. Berikut adalah ilustrasi untuk lebih mempermudah memahami mengenai jenis-jenis wilayah perairan yang saya jelaskan diatas.

 Negara Kepulauan.

Penetapan Indonesia sebagai Negara kepulauan akan membawa dampak pada hak untuk melakukan penarikan garis pangkal lurus kepulauan, sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982 pada Bab IV Pasal 46 yang berbunyi sebagai berikut:

  1. a.      archipelagic State” means a State constituted wholly by one or more archipelagos and may include other islands;
  2. b.      archipelago” means a group of islands, including parts of islands, interconnecting waters and other natural features which are so closely interrelated that such islands, waters and other natural features form an intrinsic geographical, economic and political entity, or which historically have been regarded as such.

Melalui ketentuan diatas, Wilayah Indonesia yang terpisah oleh perairan dan terdiri dari beribu-ribu pulau dapat dipersatukan dengan menarik garis pembatas diantara kepulauanya. Namun harus dicermati juga bahwa berbeda dengan perairan pedalaman, wilayah perairan pada Negara kepulauan dibatasi dengan kewajiban untuk member hak lintas damai dan hak lintas alur kepulauan.

Penentuan kedaulatan Negara kepulauan berdasarkan pasal 1 UNCLOS 82 menetapkan bahwa kedaulatan suatu Negara kepulauan meliputi juga perairan yang ditutup oleh atau terletak dalam dari garis pangkal lurus kepulauan, yang disebut sebagai perairan kepulauan ( Pengantar hokum Internasional- Mochtar & Etty hal.179) . Dengan diundangkanya UNCLOS 1982 ini kedalam UU nomor 17 tahun 1985 dan mengimplementasikanya dalam UU nomor 6 tahun 1996 adalah sebuah kelanjutan keberhasilan dari cita-cita penyatuan nusantara dengan menutup laut sebagai wilayah kedaulatan melalui Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 yang sebelumnya tidak diterima oleh masyarakat internasional.

 Sedangkan Hak Negara kepulauan untuk menarik garis pangkal lurus kepulauan tercantum pada pasal 47 UNCLOS 82 sebagai berikut :

1)      An archipelagic State may draw straight archipelagic baselines joining the outermost points of the outermost islands and drying reefs of the archipelago provided that within such baselines are included the main islands and an area in which the ratio of the area of the water to the area of the land, including atolls, is between 1 to 1 and 9 to 1.

2)      The length of such baselines shall not exceed 100 nautical miles, except that up to 3 per cent of the total number of baselines enclosing any archipelago may exceed that length, up to a maximum length of 125 nautical miles.

3)      The system of such baselines shall not be applied by an archipelagic State in such a manner as to cut off from the high seas or the exclusive economic zone the territorial sea of another State.

4)      If a part of the archipelagic waters of an archipelagic State lies between two parts of an immediately adjacent neighboring State, existing rights and all other legitimate interests 18 which the latter State has traditionally exercised in such waters and all rights stipulated by agreement between those States shall continue and be respected.

5)      The baselines drawn in accordance with this article shall be shown on charts of a scale or scales adequate for ascertaining their position. Alternatively, lists of geographical coordinates of points, specifying the geodetic datum, may be substituted.

6)      The archipelagic State shall give due publicity to such charts or lists of geographical coordinates and shall deposit a copy of each such chart or list with the Secretary- General of the United Nations.

Pasal 47 UNCLOS 82 diatas berarti pada suatu Negara kepulauan memiliki hak dan kewajiban antara lain :

  1.  Negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan bergabung dengan titik-titik terluar dari pulau terluar dan pengeringan terumbu kepulauan yang diberikan bahwa dalam garis pangkal demikian termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah di mana rasio wilayah perairan dan daratan, termasuk atol, adalah antara 1 banding 1 dan 9 banding 1.
  2.  Bahwa panjang garis pangkal tersebut tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali bahwa hingga 3 persen dari jumlah garis pangkal kepulauan melampirkan apapun dapat melebihi panjang itu, sampai panjang maksimum 125 mil laut.
  3. garis pangkal Negara kepulauan tidak berlaku bila sedemikuan rupa bila memotong dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif laut teritorial Negara lain.
  4. Jika suatu bagian dari perairan kepulauan suatu Negara kepulauan terletak di antara dua bagian dari Negara tetangga yang berbatasan langsung, hak yang ada dan semua kepentingan sah lainnya 18 Negara terakhir yang secara tradisional dilakukan di perairan tersebut dan semua hak yang ditetapkan oleh perjanjian antara Negara-negara   harus terus dan harus dihormati.
  5.  Garis pangkal yang ditarik sesuai dengan pasal 47 harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skala yang memadai untuk memastikan posisi mereka. Atau, daftar koordinat geografis titik, menentukan datum geodetik, dapat diganti.
  6. 6.      disebutkan bahwa Negara kepulauan harus mengumumkan peta atau daftar koordinat geografis dan harusmenyerahkan satu copy setiap peta atau daftar pada PBB.

UNCLOS pasal 47 ini kemudian diundangkan pada pasal 3 PP 38 tahun 2002 sebagaimana yang saya cantumkan dihalaman depan makalah ini.

  1. C.    Kesimpulan :

Sebagai Negara maritime kepulauan terbesar didunia, keberadaan garis pangkal lurus kepulauan Indonesia sangatlah vital keberadaaanya. Mengingat masalah yang terkait dengan perbatasan adalah permasalahan yang sensitive. Pada kasus Sipadan Ligitan misalnya, perdebatan antara pihak Indonesia selaku archipelago state dan Malaysia selaku Coastal State di International Court Justice yang dimenangkan oleh pihak Malaysia harus membuat pihak kita sadar mengenai urgensitas studi wilayah perairan dan pesisir terutama penarikan garis lurus pangkal kepulauan selaku kita sebagai Negara kepulauan.

 Daftar Pustaka  :

  •  Kusumaatmadja, Mochtar & Etty R. Agoes.  Pengantar Hukum Internasional. Pt Alumni . 2003 . Bandung
  • United Nation Convention for the Law of the Sea 1982
  • UU nomor 6 tahun 1996
  • PP nomor 38 tahun 2002

 Referensi :

Sekilas Michael Foucault

Filsuf Perancis kelahiran 1926, dan meninggal pada1984 karena AIDS. Pemikiran Foucault yang disadur oleh Pip Jones dalam Pengantar Teori – teori Sosial ini diawali dengan bahasa sebagai gerbang menuju ilmu pengetahuan. Dalam mempelajadi sesuatu, maka harus dilihat wacana dominan yang ada di sekitarnya.

Foucault mengamati bahwa pada masyarakat modern, pusat perhatian atau wacana yang dominan adalah “tubuh” yaitu tubuh yang sehat sehingga dapat melakukan aktivitas produksi. Bahkan dalam masyarakat modern-kapitalisme telah tercipta institusi-institusi yang melembagakan mengenai “kenormalan” dari tubuh itu. Kedokteran, rumah sakit jiwa, polisi, hingga pengkhotbah rohani, semua menciptakan standar mengenai apa yang “baik” dan apa yang “buruk”, apa yang “benar” dan apa yang “salah”.

Foucault mengambil contoh melalui rancangan penjara berbentuk spiral dimana para narapidana memperoleh pengawasan penuh bahkan oleh narapidana lain dengan dan pengawas yang selalu mengawasi mereka. Tujuan dari penjara tersebut adalah untuk memastikan atau meyakinkan bahwa para narapidana selalu berada dalam pengawasan. Fouccault menggunakan penjara tersebut sebagai permisalan mengenai bentuk pengawasan pada diri sendiri yang timbul sebagai akibat sebagai festisme tubuh yang berlebihan tadi, panopsisme.

Keterpusatan pada tubuh tadi dapat dilihat contohnya pada “wanita”. Pada wanita pra-modern, mereka hanya dianggap sebagai alat reproduksi, penerus keturunan dari laki-laki. Bahkan pada era modern, kesewenangan tersebut terus berlangsung hingga ada penyakit Hysteria yang pada kala itu dianggap sebagai penyakit yang dibawa oleh wanita.

Namun, ditambahkan juga bahwa tidak ada wacana sedominan apapun yang tidak mendapatkan resistensii, terlebih pada era modern dan pasca-modern dimana setiap gagasan dapat disalurkan melalui teknologi informasi.

Tekanan pada tubuh wanita tadi kemudian mendapatkan antithesis berupa munculnya gerakan resistensi kaum feminis. Dimana seks tidak hanya ditujukan demi memperoleh keturunan bagi kaum pria seperti pada era pra-modern, melainkan juga demi kepuasan bersama. Dimana perempuan pun bisa melakukan pemuasan seks seorang diri dengan -menggunakan dildo-maupun variasi seks dengan sesama perempuan –begitu juga dengan pria-.

Pada sampel mengenai wanita diatas, bisa dilihat bahwa bahasa maupun wacana adalah hal yang sangat menentukan dalam struktur masyarakat. Bahasa tidak hanya dianggap sebagai alat sebagai gerbang untuk mempelajari pengetahuan, tapi juga bahasalah yang menciptakan dunia (-hal194).

Jadi, apa wacana dominan yang ada disekitar kita? Sudahkah kita kritisi? Atau kita hanya “korban” yang mengikuti alur wacana dominan (mainstream) tersebut?

 


Gravatar

blog sederhana dari pemikiran saya yang juga ndak kalah sederhananya, silahkan dinikmati

ayo-ayo buat yang ga sempet buka blog ini bisa baca via email, gampang kok tinggal klik disini

Bergabung dengan 24 pelanggan lain
April 2011
S S R K J S M
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
252627282930  
wordpress visitors