Sekilas Perempuan
Dalam perkembangan abad 21 ini, hamper semua hal mengalami perubahan. Mulai dari pergeseran teoritis, filosofis, sampai pada kehidupan sehari-hari. Perang dunia I dan perang dunia II, yang kemudian disusul dengan perang dingin antara blok barat dan timur, runtuhnya tembok berlin pada 1990, dan tidak kalah seru jatuhnya rezim orba oleh kawan-kawan kita pada 1998 lalu. Penemuan-penemuan teknologi yang memicu semakin derasnya alur perubahan komunikasi yang kini semakin luas menghubungkan tiap titik penjuru bumi, membuat kita bertanya dan terus bertanya, apa lagi? What next?
Tidak luput dari perubahan dan pergeseran yang terjadi tersebut, adalah kisah mengenai perempuan. Apa yang membuat perempuan begitu menarik? Dalam legenda yunani dari epos Hommerus yang tersohor itu perempuan dikisahkan sebagai hukuman atas manusia (man) sehingga Zeus, sang mahadewa memutuskan untuk membuat perempuan ( woman ) untuk mempersulit kehidupan manusia (man) sebagai hukuman karena mencuri api milik Hephasteus. Dikisahkan perempuan pertama yang diciptakan dari tanah liat dan diberi tiupan napas oleh Athena, kemudian diberi nama Pandora. Zeus melalui Hermes dengan dalihnya memberikan Pandora sebuah kotak yang didalamnya berisi seluruh penderitaan ( pain )manusia. Pandora yang memang diciptakan untuk mempersulit laki-laki pun akhirnya mendesak suaminya, Episthemus untuk membukanya meski sebelumnya Episthemus telah diingatkan oleh saudaranya, Prometheus untuk tidak membuka kotak pemberian para dewa. Tapi Episthemus tidak kuasa menahan bujukan Pandora untuk membuka kotak tersebut hingga akhirnya dibukalah kotak yang berisi segala macam kejahatan, penyakit, penderitaan, dan lain-lain buru-buru Ephistemus menutup kotak tersebut. Kini manusia telah dijangkiti oleh berbagai hal kutukan para dewa, namun demikian Ephistemus mendengar suara ketukan dari kotak tersebut dan dibukanya kembali, ternyata ada satu hal yang tertinggal dari kotak tersebut, yaitu : harapan ( hope ) untuk mengatasi segala hal buruk yang keluar sebelumnya.
Cerita diatas cukup menarik untuk diulas. Bagaimana ternyata perempuan, telah dikondisikan sedemikian rupa sejak dahulu (bahkan sampai tertuang dalam bentuk mitologi) sebagai gender kedua setelah laki-laki. Perempuan (semenjak dahulu) ternyata telah mengalami suatu reduksi mengenai nilai kapasitasnya sebagai “manusia”.
Adalah seorang filosof Athena dan murid Socrates, Plato yang agaknya adalah yang pertama kali berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama dalam memimpin suatu (meski ada juga teorinya yang bias gender) Negara. Hal ini terkait dengan model Negara Aristokrasi yang dianggapnya adalah bentuk pemerintahan yang ideal dimana Negara tersebut dipimpin oleh para filsuf yang bijaksana sehingga tidak perlu memandang jenis kelamin.
Akan tetapi pandangan positif mengenai perempuan tersebut ternyata tidak dilanjutkan oleh muridnya yang juga filosof Athena; Aristoteles. Menurut Aristoteles, perempuan adalah manusia yang tidak sempurna secara seksual dibandingkan laki-laki. Aristoteles memandang Negara berbentuk seperti manusia dan makhluk hidup, maka dari itu, dia berpendapat bahwa perempuan dengan organ dan sifat pasifnya dalam hubungan seksual sebagai kelas yang lebih rendah tingkatanya daripada laki-laki.
Celakanya, justru pendapat Aristoteles (termasuk mengenai ketimpangan gender)-lah yang banyak dijadikan acuan pada masa abad pertengahan. Masa abad pertengahan adalah masa dimana pengaruh kuat doktrin agama dalam segala aspek. Kelahiran Yesus Kristus (1 M) dan Muhammad (7 M ) yang kemudian menjadi dua agama terbesar didunia (Islam dan Nasrani), pada abad pertengahan banyak menjadikan pemikiran-pemikiran Aristoteles sebagai rujukan. Nicolaus Copernicus adalah contoh yang popular, pemikiranya mengenai Heleosentris yang bertentangan dengan pendapat Aristoteles dan Gereja dikala itu membuatnya dihukum mati, begitu juga pencongkelan mata Galileo oleh inkuisisi Gereja,
Rennesaince , Illumination, dan Aufklarung atau abad pencerahan yang diawali dengan dualism Cartesian oleh Rene Descartes tidak kunjung memberikan angin segar bagi perempuan. Schopenhauer, bahkan seperti mengulang Aristoteles dengan mengatakan bahwa “perempuan adalah makhluk tengah antara anak-anak dan pria dewasa”. Tekanan represi terhadap perempuan kemudian menimbulkan penyakit mental berupa Hysteria yang kala itu didaulat sebagai penyakit eksklusif milik perempuan (dari kata latin hysteros yang berarti rahim).
Feminisme sebagai Antitesis
Rupanya represif gender dari laki-laki kepada perempuan mulai melahirkan antithesis. Gerakan-gerakan feminism dengan berbagai sudut pandang mulai menggugat dan mengajukan redefinisi mengenai “siapa itu manusia?”
Terdapat beberapa pandangan mengenai Feminisme, jadi feminism bukanlah sebuah gerakan tunggal, dia lebih tepat bila dilihat sebagai sebuah pohon besar dengan banyak cabang-cabang. Berikut adalah beberapa jenis gerakan feminism secara garis besar:
- Feminism liberal :
Gerakan feminism liberal beranggapan bahwa kesetaraan gender dapat diperoleh melalui tekanan politik dan struktur hokum sehingga memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan.
- Feminisme Radikal :
Menurut Feminisme Radikal, tekanan politik dan struktur hokum saja tidaklah cukup, standar patriarkhial seharusnya dicabut hingga ke-akar-akarnya. Gerakan ini kemudian terbagi dalam 2 kubu besar yaitu Radikal Libertarian yang beranggapan bahwa setiap orang sebaiknya berhak menjadi androgin untuk mengeksploitasi baik sisi maskulin maupun feminine, yang kedua adalah Radikal-kultural beranggapan bahwa susunan patriarkhial dimulai dari penomor-duaan sisi feminine. Hal ini tercipta melalui eksploitasi tubuh perempuan, pornografi, prostitusi, dan lain-lain. Jadi mereka menolak hal-hal tersebut dan mengutarakan bahwa perempuan seharusnya bebas melakukan eksperimen seksual (bukan hanya dikendalikan oleh laki-laki).
- Feminisme Marxis-sosialis :
Sesuai dengan namanya, feminis marxis-sosialis didasarkan pada teori konflik antar kelas; borjuis dan proletar, dimana oposisi binair keduanya juga terbawa pada ketidakadilan ranah kerja bagi perempuan. Upah dan status yang lebih rendah dan hanya dianggap sebagai pekerja sekunder. Mereka berpendapat bahwa kesetaraan tidaklah mungkin diperoleh dari system masyarakat berkelas.
- Feminisme Psikoanalisa
Psikoanalisa adalah sebuah teori psikologi yang dikembang oleh Sigmund Freud. Psikoanalisa membagi manusia menjadi 2 bagian; alam sadar super-ego dan ego dan alam bawah sadar: Id dimana pada kenyataanya manusia lebih banyak dikontrol oleh alam bawah sadarnya. Maka Feminis Psikoanalisa berpendapat bahwa ketidaksetaraan gender berakar dari pengkondisian masa kanak-kanak dimana laki-laki identik dengan maskulinitas dan perempuan dengan fiminitas juga bahwa oposisi binair yang mengatakan maskulin lebih baik daripada feminin.
- Feminisme Kulit Hitam
Hal yang dilupakan oleh gerakan feminism adalah bahwa gerakan mereka terbatas pada kelas atau etnis tertentu saja. Feminisme kulit hitam didasarkan pada fakta bahwa selain mendapatkan represi dari segi rasial, mereka juga mendapatkan tekanan secara gender.
- Feminisme Eksistensialisme
Feminisme dengan pendekatan eksistensialisme dari Jean Paul Sartre, melalui karya The Second Sex dari Simmone de Buvoir. Pada pendekatan ini perempuan dikatakan sebagai “yang lain” (the others) dari laki-laki karena posisinya yang selalu tersubordinasi dari laki-laki. Eksistensialisme mendorong setiap perempuan untuk menemukan sendiri caranya dalam bereksistensi.
- Feminisme Postmodern
Postmodern, gerakan menolak permarginalan dalam hegemoni tunggal, juga diterapkan pada gerakan feminism, banyak dipengaruhi oleh Irrigay,Derrida, Kristeva, Lacan, juga pengembangan dari feminism eksistensialisme Simmone de Buvoir, dengan mengakui ke-berbedaan-(keliyanan) perempuan sebagai bentuk keterbukaan dan keberagaman.
H. Ekofeminisme
Beranggapan bahwa subordinasi laki-laki pada perempuan terkait dengan eksploitasi manusi terhadap alam. Maka, pembebasan perempuan juga harus dibarengi dengan penghentian eksplorasi yang merusak lingkungan hidup.
Menuju Keberagaman
Kita telah melihat beberapa aliran dari feminism, dengan tidak menutup munculnya perspektif baru dalam gerakan feminism yang mungkin akan lahir. Bila kita cermati dalam kehidupan sehari-hari, gerakan-gerakan tersebut sebenarnya sudah mulai muncul dan tumbuh, meski tak kalah sering juga kita menemukan bias maupun diskriminasi gender di lingkungan kita.
Pergeseran hubungan seks misalnya, dahulu pandangan perempuan mengenai hal ini adalah bahwa perempuan merupakan ladang dan laki-laki adalah penanam benih, dimana berarti laki-laki mengendalikan seksualitas perempuan melalui institusi-institusi tertentu (rumah sakit, psikolog, pemuka agama) kini telah bergeser. Perempuan kini tidak lagi tergantung pada laki-laki dalam hal seks, dildo,atau variasi seksual lainya (atau bahkan lesbian) membuat perempuan dapat memenuhi kebutuhan seksnya sendiri tanpa laki-laki (sekarang banyak gerakan HAM mengenai lesbian dan homoseksual).
Saya sependapat dengan kutipan dari Simmone de Buvoir yang mahsyur itu, “one, isn’t born as a woman, yet become a woman” ya, seorang perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, tapi menjadi perempuan, yang berarti perempuan bebas dari definisi yang mengungkungnya, untuk kemudian berada diproses “menjadi”, menjadi seorang perempuan, boleh menjadi akuntan, binaragawan, pembalap, astrounout, atau apapun!
Terlebih dikala zaman semakin menuju ke arah keberagaman semenjak dibukakanya gerbang postmodern melalui teriakan “Tuhan sudah mati” dari Nietszche di penghujung modernitas abad 19. Ya, kini manusia berhak memilih hidupnya, perempuan berhak menjadi apapun, mereka telah memperoleh hak pilih di tahun 1920, semenjak diperjuangkan di Saneca Falls pada 1848, sekarang mereka berhak mendapat pendidikan yang sama, berhak menempati posisi di pemerintahan, perempuan, bersama dengan laki-laki kini bisa menentukan arah bersama mengenai siapa dan apa itu manusia.
Kembali ke awal, kita tidak boleh lupa bahwa subordinasi seksual dan gender telah mengakar semenjak era sebelum masehi, sehingga membebaskan diri dari dogmatism yang terbentuk dan diwariskan secara turun-menurun bukanlah hal yang mudah. Hal itulah yang –karena sedemikian mendarah daging – seringkali dijadikan alasan karena kita begitu nyaman terlena.
Alangkah indahnya bila kini, laki-laki, perempuan, maupun transgender, beragama maupun tidak, apapun latar pendidikan, ekonomi, ras, orientasi seksual, ideology, atau apapun, bergerak bersama sebagai manusia untuk kembali pada prinsip dasar golden rule etika : “Berbuatlah sebagaimana ingin diperbuat”,Bila demikian, bukan hal yang aneh bila besok, barangkali kita menjumpai adik-adik kecil di sekolah dasar menjawab atas pertanyaan klasik anak Indonesia:
“Bapak pergi ke …(salon, pasar, atau manapun)….”
“Ibu pergi ke …(kantor, melaut, atau kemana saja dia suka)….”
Daftar pustaka :
Jones, pip. Pengantar Teori-teori sosial. Yayasan Obor Indonesia. 2009.Jakarta.
St.Sunardi. Nietszche. LKiS.2009. Yogyakarta
Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought. Jalan Sutra. 2010.Yogyakarta.
O’Donell, Kevin. Postmodernisme. Kanisius.2009.Yogjakarta.
Komentar terakhir..