Di negeri ini, kini telah hadir berbagai pusat perbelanjaan sekarang orang tidak perlu lagi pusing untuk mengeluarkan dompetnya. Namun sayangnya, baik kita sadari maupun tidak, rupanya pola hidup konsumtif telah merasuk kedalam berbagai sendi kehidupan.
Tunggu dulu, lalu apa masalahnya? Berbelanja demi gaya hidup, secara tidak langsung telah menggiring pemikiran kita untuk berpusat pada tubuh (penampilan) . Tubuh menjadi sasaran obyektifikasi dari konsumerisme, karena melalui konsumsi, kita dapat mengaktualisasi diri lewat baju, perhiasan, gadget, bentuk tubuh, yang kita beli. Pola hidup yang demikian seolah-olah dilegitimasi melalui deretan iklan dan sinetron yang memuja tubuh dengan bahasa dan symbol tertentu, aktualisasi tubuh via konsumsi dijadikan sebagai semacam ideology.
Lalu bagaimana dengan peran etika? Etika secara garis besar berbicara tentang “jalan menuju kebaikan”. Menurut Jurgen Habermas, Etika berkaitan dengan Konsensus, tentunya karena etika dihasilkan melalui diskursus untuk memperoleh kesepakatan bersama mengenai apa yang baik itu.
Problemnya adalah ketika diskursus tersebut disandarkan pada tubuh dan konsumsi, maka obsesi atas penampakan tubuh, dan bagaimana tubuh dilihat seolah semakin menemukan alasanya. Super-ego yang didasarkan konsumsi, tentu akan menimbulkan represi yang berbasis konsumsi pula. Simbol dan nilai tubuh dikelompokkan, kita membaginya ke tingkatan-tingkatan social, barang atau bentuk tubuh tertentu mencerminkan kelas social pemiliknya. Karena wacana tubuh itu demikian dominan, kita mulai melupakan nilai-nilai yang lain, kita terbelenggu bahwa tubuh adalah satu-satunya media aktualisasi diri, penampilan adalah segalanya.
Pada Tahap ini saat etika tubuh mulai terjebak membeku menjadi dogma dalam system tertutup, kita dapat mempertanyakan kembali, merefleksi kebelakang mengenai apa tujuan etika itu sebenarnya. Etika sebagai tujuan kebaikan bersama, atau rasionalisasi terselubung kekuasaan (pemodal-konsumerisme) yang berujung opresi maupun represi?
Ketika dogma itu kita terima secara taken for granted, maka yang terjadi adalah penindasan (marx menyebutnya sebagai kesadaran palsu), yang dalam konteks ini yang dirugikan adalah pihak yang tidak mampu mengikuti bahasa etika konsumsi atas tubuh, seolah mereka adalah makhluk yang tidak beretika, dipinggirkan.
Mari kita mulai mencoba meredifinisi etika, dengan mulai memikirkan dan mengenali diri kembali sikap kita pada kehidupan sehari-hari, konsensus melalui diskursus yang bebas dan adil dan dibarengi kesadaran akal sehat. Barangkali ketika ambisi pada penampilan tubuh berakhir, tubuh tidak lagi menjadi sasaran obyektifikasi membabi buta, para koruptor berdasi mulai menyadari arti dari rasa malu, dan teman-teman bercelana sobek alakadarnya tak perlu merasa begitu rendah diri, …dan etika-pun menjadi lebih manusiawi.
Referensi :
Suseno, Franz Magnis. Etika Abad kedua puluh. Kanisius. 2006. Yogyakarta.
Hardiman, Fransisko Budi. Kritik Ideologi. Kanisius. 2009. Yogyakarta.
Sumber gambar :
Komentar terakhir..