Arsip untuk Agustus, 2011

Konsumerisme, Mitos Dari Etika yang Membeku

Di negeri ini, kini telah hadir berbagai pusat perbelanjaan sekarang orang tidak perlu lagi pusing untuk mengeluarkan dompetnya. Namun sayangnya, baik kita sadari maupun tidak, rupanya pola hidup konsumtif telah merasuk kedalam berbagai sendi kehidupan.

Tunggu dulu, lalu apa masalahnya? Berbelanja demi gaya hidup, secara tidak langsung telah menggiring pemikiran kita untuk berpusat pada tubuh (penampilan) . Tubuh menjadi sasaran obyektifikasi dari konsumerisme, karena melalui konsumsi, kita dapat mengaktualisasi diri lewat baju, perhiasan, gadget, bentuk tubuh, yang kita beli. Pola hidup yang demikian seolah-olah dilegitimasi melalui deretan iklan dan sinetron  yang memuja tubuh dengan bahasa dan symbol tertentu, aktualisasi tubuh via konsumsi dijadikan sebagai semacam ideology.

Lalu bagaimana dengan peran etika? Etika secara garis besar berbicara tentang “jalan menuju kebaikan”. Menurut Jurgen Habermas, Etika berkaitan dengan Konsensus, tentunya karena etika dihasilkan melalui diskursus untuk memperoleh kesepakatan bersama mengenai apa yang baik itu.

Problemnya adalah ketika diskursus tersebut disandarkan pada tubuh dan konsumsi, maka obsesi atas penampakan tubuh, dan bagaimana tubuh dilihat seolah semakin menemukan alasanya. Super-ego yang didasarkan konsumsi, tentu akan menimbulkan represi yang berbasis konsumsi pula. Simbol dan nilai tubuh dikelompokkan, kita membaginya ke tingkatan-tingkatan social, barang atau bentuk tubuh tertentu mencerminkan kelas social pemiliknya.  Karena wacana tubuh itu demikian dominan, kita mulai melupakan nilai-nilai yang lain, kita terbelenggu bahwa tubuh adalah satu-satunya media aktualisasi diri, penampilan adalah segalanya.

Pada Tahap ini saat etika tubuh mulai terjebak membeku menjadi dogma dalam system tertutup, kita dapat mempertanyakan kembali, merefleksi kebelakang mengenai apa tujuan etika itu sebenarnya. Etika sebagai tujuan kebaikan bersama, atau rasionalisasi terselubung kekuasaan (pemodal-konsumerisme) yang berujung opresi maupun represi?

Ketika dogma itu kita terima secara taken for granted, maka yang terjadi adalah penindasan (marx menyebutnya sebagai kesadaran palsu), yang dalam konteks ini yang dirugikan adalah pihak yang tidak mampu mengikuti bahasa etika konsumsi atas tubuh, seolah mereka adalah makhluk yang tidak beretika, dipinggirkan.

Mari kita mulai mencoba meredifinisi etika, dengan mulai memikirkan dan mengenali diri kembali sikap kita pada kehidupan sehari-hari, konsensus melalui diskursus yang bebas dan adil dan dibarengi kesadaran akal sehat. Barangkali ketika ambisi pada penampilan tubuh berakhir, tubuh tidak lagi menjadi sasaran obyektifikasi membabi buta, para koruptor berdasi mulai menyadari arti dari rasa malu, dan teman-teman bercelana sobek alakadarnya tak perlu merasa begitu rendah diri,   …dan etika-pun menjadi lebih manusiawi.

Referensi :

Suseno, Franz Magnis. Etika Abad kedua puluh. Kanisius. 2006. Yogyakarta.

Hardiman, Fransisko Budi. Kritik Ideologi. Kanisius. 2009. Yogyakarta.

Sumber gambar :

http://wartakotalive.com

keCantik-an, Tubuh, dan Mitos

Salah satu iklan di Tv : “Awalnya perempuan tidak percaya diri pada penampilanya, kemudian dia diberi solusi prodak pemutih kulit (dalam iklan lain bisa berupa pembentuk tubuh, penghalus rambut, dll), setelah pemakaian si perempuan tadi berubah menjadi percaya diri banyak laki-laki yang salah tingkah waktu melihatnya”.

Dari kotak ajaib yang tersebar di hampir setiap rumah, televisi, kita sering menyaksikan iklan ataupun berbagai tayangan lainya yang menampilkan perempuan dengan tubuh ramping, berdada besar, pantat mantap, kulit putih (bahkan ada prodak dengan alat pengukur tingkat keputihan), dan rambut gemulai menawarkan produk “kecantikan”, hal tersebut seolah diaffirmasi oleh tayangan baik sinetron maupun layar lebar dalam menampilkan tokoh yang cantik dalam bentuk sebagaimana yang ditampilkan oleh iklan. 365 hari setahun, 7 hari seminggu, dan 24 jam sehari kita dicekoki “standarisasi kecantikan” tersebut.

Semua orang tentu ingin menjadi cantik –dan sehat tentunya- , namun demikian, kita jarang memikirkan lebih lanjut mengenai apa itu cantik? Apakah cantik itu melulu identik dengan bentuk tubuh ala Barbie ?

Mungkin itu berasal dari kegemaran kita untuk menstandarisasi sesuatu secara membabi buta. Standarisasi tersebut rupanya juga terbentuk mengenai bagaimana manusia seharusnya berperilaku, dan berpakaian dan itu tertuang dalam apa yang kita sebut sebagai etika. Dari situ kita memisahkan mana yang baik dan mana yang tidak baik, sehingga dalam berkegiaatan kita mengacu pada nilai-nilai yang (tentunya) kita anggap baik, ada tingkatan-tingkatan(stratifikasi) berdasar nilai-nilai tersebut.

Dan nilai yang sering kita gunakan adalah nilai kemakmuran -yang disimbolisasi melalui konsumsi-, lalu apa hubunganya? Dalam masyarakat konsumerisme dimana pemasaran melulu menyajikan wacana yang kemudian membentuk mindset masyarakat bahwa anda adalah apa yang anda beli. Dari situ kemudian terbentuklah premis bahwa perempuan yang diterima masyarakat adalah perempuan dengan bentuk tubuh tertentu, melalui “perawatan tubuh”, konsumsi alat, proses, dan produk kecantikan untuk memperoleh standard yang diinginkan masyarakat (langsing, putih, berdada besar). Perempuan yang tidak sesuai dengan kriteria akan teropresi, ter-nomordua-kan, dipinggirkan. Festisisme Tubuh dan Komoditas, kepercayaan yang berlebihan dan sesat atas standar bentuk tubuh dan barang-barang konsumsi. Contoh simpelnya kerap kita temui banyak perempuan yang sebegitu takutnya dengan timbangan, takut kalau bobotnya tidak sesuai dengan standar “kecantikan”.

Kasus-kasus tersebut agaknya justru mengingkari upaya-upaya pembebasan opresi perempuan, bahwa perempuan bisa dan berhak menentukan nasibnya sendiri. Perempuan ditengah konsumerisme justru menyerahkan dirinya jatuh kedalam Alienasi tubuh, keadaan terasing dari tubuhnya sendiri, dandan, diet, memperbesar payudara, menghias tubuhnya untuk kenikmatan laki-laki, Lebih lanjut bahkan perempuan terasing dari perempuan lain karena bersaing untuk mendapatkan tubuh yang paling “ideal” (feminis thought-183). Perasaan kalau tubuhnya selalu diawasi oleh orang lain, membuat perempuan menjadi semacam polisi bagi dirinya sendiri mengenai bentuk tubuhnya, menurut Foucoult hal ini disebut panoptisisme sehingga seolah-olah tubuh perempuan adalah tubuh milik publik, aktualisasi diri supaya tubuhnya dilihat orang lain .

Disini kita bisa mempertanyakan peran televisi (atau alat media lainya) sebagai pemancang standarisasi kecantikan sekaligus sebagai penyebar wacana dalam ruang publik,sejauh mana peran kekuasaan (televisi, konsumerism) pada tubuh (kecantikan) perempuan ?

Barangkali sudah saatnya bagi perempuan untuk memberi nilai dan kembali memiliki tubuhnya sendiri, silahkan matikan televisi dan banting timbangan anda 😀

“ah, cantik itu cuma mitos”

Referensi :

  • Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought.  Jalan Sutra. 2010.  Yogyakarta.
  • Jones, Pip. Pengantar Teori-teori Sosial. Yayasan Obor Indonesia. 2009. Jakarta.

Selamat Menunaikan Ibadah Puasa :)

Nggak kerasa sudah lebih dari sebulan saya absen nggak ngisi blog ini. Bukan perkara males apa gimana sih tapi memang lagi banyak kegiatan aja :D, dan beberapa waktu lalu ini leptop busuk saya sempet eror juga, hoaahm .

By the way, memasuki bulan Agustus, bebarengan dengan bulan Puasa. Orang sering mengingatkan saya kalau bulan puasa adalah saat untuk kembali kejalan yang benar.

Tapi tunggu dulu, apa itu benar? yang mana yang bisa disebut benar dan mana yang tidak benar? apakah benar itu karena kuasa, atau kuasa ada karena benar? lalu sebenarnya benar itu apa?

Yah sudahlah, pokoknya, selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan 🙂 #gabasabasi

 


Gravatar

blog sederhana dari pemikiran saya yang juga ndak kalah sederhananya, silahkan dinikmati

ayo-ayo buat yang ga sempet buka blog ini bisa baca via email, gampang kok tinggal klik disini

Bergabung dengan 24 pelanggan lain
Agustus 2011
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
293031  
wordpress visitors