Dalam Epos Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dikisahkan seorang ronggeng cantik bernama Srintil beserta liku-likunya dalam melayani dunia hasrat laki-laki. Disitu Srintil menjual ke-Liyan-anya sebagai perempuan dengan tarian yang mempermainkan hasrat nafsu para laki-laki, dan hanya laki-laki yang memiliki harta terbanyaklah yang dapat memiliki malam bersama Srintil sementara yang lain harus berpuas diri dengan cukup memasukkan barang sebentar tangan mereka ke dada Srintil atau bahkan yang lebih tidak beruntung lagi hanya dapat menjadi penonton.
Seksualitas yang dirayakan, setidaknya hal itulah yang terjadi dalam masyarakat Dukuh Paruk yang menurut Ahmad Tohari bodoh dan kumuh. Belum masuknya agama maupun pengetahuan membuat kebenaran mengenai seks tidak semata demi prokreasi, melainkan tercapainya orgasme. Dalam pengaturan yang sedemikian longgar toh Dukuh Paruk memiliki satu senjata untuk menjalankan ekonomi mereka: Ronggeng yang mereka “jual” dengan harga mahal pada pendatang turut memberi rezeki bagi kehidupan Dukuh Paruk.
Disinilah barangkali letak dilema yang paling umum dalam perkara “transaksi orgasme”, meminjam sudut pandang Parsonian misalnya, bagaimana antara budaya maupun ekonomi bersatu: sebuah produktifitas, sebelum pada akhirnya transaksi orgasme harus kembali dalam dunia bayangan yang malu-malu karena kemudian dihantam oleh kebudayaan itu sendiri atas nama moral melalui segenap aturan yuridis maupun alasan medis dan oleh ekonomi atas nama penyelewengan terhadap produktifitas meski kerapkali produktifitas itu lebih sering hadir dalam transaksi orgasme itu sendiri baik secara terbuka maupun malu-malu.
Secara normatif prostitusi tidaklah diatur secara khusus dalam KUHP yang mana hanya tercantum dalam Buku II tentang kejahatan pasal 296 “Barangsiapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikanya sebagai pencarian atau kebiasaan diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak seribu rupiah” dan Buku III tentang pelanggaran dalam pasal 506 “Barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikan sebagai pencarian, diancam dengan kurungan paling lama satu tahun”. Minimnya peraturan yang menaungi tersebut tentu membuat sulit kriminalisasi pelaku pelacuran karena berdasarkan pasal 296 dan 506 yang dapat dikenai pidana adalah pihak ketiga yang mengambil keuntungan yaitu germo. Pasal perzinahan KUHP dalam pasal 284 juga kurang memungkinkan untuk melakukan kriminalisasi karena selain hanya berlaku apabila pihak yang bersangkutan salah satunya telah menikah, patut diingat pula bahwa pasal 284 bersifat delik aduan. Dalam tindak pidana khusus, kriminalisasi dapat menggunakan Undang-Undang Traficking dan Undang-Undang perlindungan anak. Namun yang hendak saya tekankan disini bahwa kriminalisasi perbuatan prostitusi karena tidak ada peraturan yang melingkupinya secara khusus akan mengalami kesulitan mengingat asas legalitas dimana telah disebutkan diatas, minimnya instrumen hukum yang dapat digunakan untuk melakukan kriminalisasi.
Mari sebentar menengok kriminalisasi prostitusi KUHP dalam konsep. Dalam perumusan Konsep KUHP, Kriminalisasi perbuatan asusila yang dapat dikaitkan dengan tindak pidana pelacuran atau prostitusi dapat kita jumpai pada pasal 485 ayat (1) Konsep KUHP tahun 2008[1] yang memperluas kriminalisasi perbuatan zina di Pasal 284 KUHP. Melalui ketentuan tersebut maka pihak yang melakukan perzinahan menurut Konsep dapat dikenai pidana. Disini Konsep KUHP hendak memberikan warna kolektifitas dengan mempertimbangkan moralitas masyarakat dibandingkan dengan moralitas KUHP yang berciri liberalistik yang individualis. Namun permasalahan tersebut sekali lagi terbentur pada ayat (2) yang menyatakan bahwa pasal 485 merupakan delik aduan. Perdebatan mengenai penggunaan delik aduan atau delik biasa dalam perzinahan dalam konsep sendiri menarik untuk diikuti, sebagaimana disampaikan oleh Barda Nawawi, bahwa penggunaan delik aduan absolut dalam perzinahan memiliki kelemahan dimana pencegahan terhadap pelacuran juga menjadi salah satu alasanya[2].
Dengan melihat lemahnya peraturan positif dan masih jauhnya KUHP baru mencapai final dan adanya Peraturan Daerah mengenai lokalisasi -disamping mandulnya aturan yuridis dalam mengatur prostitusi homoseksual maupun lesbian- secara kasar dapat dikatakan bahwa perbuatan prostitusi sejauh tidak sejalan dengan rumusan dalam perundangan tidaklah inkonstitusional, setidaknya demikian secara normatif atau mudahnya, memperoleh kenikmatan melalui prostitusi adalah perbuatan yang legal.
“Sejak lama dan sampai kini pun kita dibayangi oleh norma-norma zaman Victoria, Ratu yang angkuh dan puritan itu selama ini melambangkan seksualitas kita yang berciri menahan diri, diam, dan munafik”[3]
Demikian adalah kalimat pembuka dari Sejarah Seksualitas karya Michel Foucault yang melalui studi genealoginya mengisahkan bagaimana hubungan antara seks dan kekuasaan saling berkaitan dan berkelindan. Setidaknya, hal ini menjadi dilema tersendiri bagi kekuasaan yang hadir dimana ranah yuridis untuk turut berbicara dan mengatur ketentuan seks, seks terus dikejar melalui bisikan penuh rahasia pada bilik pengakuan dosa, pembaringan yang nyaman dalam psikoterapi, dalam istilah-istilah medis, maupun mitos-mitos yang tersebar dalam kalangan anak-anak –onani menyebabkan kebutaan misalnya- yang ironisnya pengejaran tersebut bukanya membungkam, melainkan melipatgandakan wacana seks itu sendiri, dengan topeng legitimasinya yang beragam.
Bagi Foucault, ada dua kebenaran akan seks : Scientia Sexualita dan Ars Erotica[4]. Yang pertama mengacu pada kebenaran akan seks yang dilegitimasi melalui ilmu pengetahuan, mempelajari seks dari kacamata medis maupun psikoanalisa misalnya, sementara Ars Erotica mendudukkan kebenaran akan seks terdapat pada sentuhan, rangsangan, dan orgasme, pada tingkat kenikmatan yang dihasilkan, contohnya dapat kita lihat pada kamasutra India.
Dalam perkembangan masyarakat di era sekarang, dimana ilmu pengetahuan berbicara banyak tentang seks, kebijakan bio-power menunjukkan kecenderungan seks dalam masyarakat untuk menuju kebenaran seks melalui scientia sexualita –lihat kebijakan KB pada masa Orde Baru dimana seks diatur atas nama penekanan jumlah penduduk untuk mencapai kesejahteraan. Namun seks yang terus dikejar atas nama kekuasaan melalui ilmu pengetahuan tersebut rupanya tidak membuat seks menjadi bungkam, melainkan sebaliknya, wacana seks direproduksi terus menerus.
Kekuasaan bagi Foucault, bukanlah terdapat dalam bentuk institusi ataupun kelas-kelas sosial sebagiamana Marx, melainkan dalam berbagai hubungan kekutan dibidang dia berlaku, dari diskursus yang ada, dan strategi bagaimana dia dijalankan yang masuk sampai ke wilayah yang paling pinggiran[5]. Dengan kata lain Kekuasaan ada dimana-mana; bukan karena mencakupi segalanya, namun dari mana-mana..Kekuasaan bukan sebuah lembaga, dan bukan pula sebuah struktur, bukan semacam daya yang terdapat pada beberapa orang. Kekuasaan adalah nama yang diberikan pada situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu[6]. Kekuasaan sebagai suatu hasil dari wacana dominan yang saling bersaing, dan dapat dikatakan kekuasaan bekerja apabila pihak yang menguasai atau dikuasai menginternalisasi kekuasaan itu sendiri.
Disini kita dapat mulai melihat paradoksnya: di satu sisi kekuasaan selalu berkata tidak pada seks, namun disisi lain seks justru berlipat ganda. Dalam dunia prostitusi, kita bisa melihat bahwa upaya-upaya untuk melakukan kriminalisasi atas prostitusi (upaya tersebut dapat dijumpai pada pembentukan Konsep KUHP) harus berhadapan dengan bagaimana seks, atau saya lebih suka menyebutnya sebagai transaksi orgasme yang tersedia baik yang terang-terangan maupun yang paling tersembunyi, dari pelacuran tingkat atas di hotel, karaoke, spa, pijat sampai pelacuran dengan harga yang paling murah dijalan-jalan kala malam. Upaya kriminalisasi tersebut harus berhadapan pula dengan sirkuit kapital yang beredar disekitar tempat prostitusi dimana lingkungan disekitar tempat seks dijajakan menikmati sirkuit kapital tersebut, dan terlebih, turut menyumbang pula APBD jadi ada hipokrisi, ada standar ganda yang rancu dalam penanganan seks disini.
Pada akhirnya, saya hendak mengatakan bahwa apabila negara melalui instrumen Yuridis hendak mengejar dan mengatur-atur seks, maka lawan yang dihadapi bukanlah para germo maupun pelacur, malainkan bagaimana, strategi apa yang dapat digunakan oleh wacana untuk menghadapi musuh terbesarnya: kemunafikan itu sendiri, atau, bisa dikatakan pula, bahwa berjuangan kriminalisasi tersebut yang begitu hendak mengejar dan mengatur-atur kebenaran seks adalah sebuah upaya melawan hasrat, melawan kebebasan seksual, insting pendorong manusia yang paling dominan dalam struktur kesadaran Psikoanalisa Freud[7]. Atau barangkali, memang lebih baik bagi perempuan untuk menjual ke-liyanan-nya seperti Srintil, daripada harus hidup dalam dominasi patriarki laki-laki untuk hidup terkurung dalam rumah tangga. Maka sebuah pertanyaan kembali terbuka disini, dapatkah kebebasan hubungan seksual, melalui prostitusi sekalipun, menjadi sesuatu yang membebaskan dan membahagiakan? Dimana pembungkaman melalui instrumen yuridis mandul berhadapan denganya.[8]
[1] Barda Nawawi Arif. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Hlm 259. Pasal 485 ayat (1) berbunyi : “(1) Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama lima tahun : a. Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya; b. Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya; c. Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahubahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan’ d. Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau e. Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.
[2] “Dengan dijadikanya perzinahan sebagai delik aduan absolut, tidak mustahil keran pengaman/pengendali menjadi lemah atau longgar, dan bisa berakibat membuka pintu/peluang terjadinya delik-delik lain itu” sedangkan mengenai tujuan dari dilarangnya perzinahan Barda Nawawi mengatakan “Tujuan lain yang patut dipertimbangkan dari dilarangnya perzinaan adalah kesucian lembaga perkawinan dan pengaruh negatif lainya dari perzinaan itu sendiri, antara lain mencegah hidup suburnya pelacuran yang dapat menjadi sumber penyakit kotor dan penyakit yang membahayakan masyarakat…” dalam Ibid hlm 286
[3] Michel Foucault . La Volonte de Savoir Histoire de la Sexualite, Ingin tahu Sejarah Seksualitas. YOI. Jakarta. 2009. Hlm 1
[4] Ibid hlm 81-82
[5]Ibid hlm 121
[6] Ibid hlm 122
[7]Dalam Psikoanalisa Freud, Freud membagi tiga struktur kesadaran : id, ego dan super ego. Id adalah hasrat hewani manusia yang paling dasar sekaligus paling dominan yang terutama didominasi oleh insting seksual sebagai pendorong yang paling kuat. Lihat lebih jauh di pendahuluan oleh K. Bertens dalam Sigmund Freud. Memperkenalkan Psikoanalisa; Lima Ceramah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1991 hlm xxxix Dapat dilihat pula dalam Alwisol. Psikologi Kepribadian. UMM Press. Malang. 2011. Hlm 13-37
[8] Sebagaimana yang dikatakan oleh Foucault : “..karena hanya merupakan kekuasaan yang bermodel yuridis, ia hanya dipusatkan pada ujaran hukum dan pada cara kerja larangan. Segala cara dominasi, penaklukan, penundukan akhirnya akan kembali pada dampak kepatuhan…” Dalam Op Cit Michel Foucault. Hlm 114
Komentar terakhir..