“Perbuatlah bagi orang lain apa yang Anda ingin mereka perbuat terhadap anda” – Yesus
“Apa yang tidak Anda inginkan dibuat kepada Anda, jangan perbuat itu terhadap orang lain” – Confucius
“Jangan Seorang pun dari kamu memperlakukan saudaramu atas cara yang ia sendiri tidak ingin diperlakukan” – Muhammad
“Seseorang harus mencari untuk orang lain kebahagiaan yang ia inginkan untuk dirinya sendiri” – Buddha
Dari beberapa kutipan diatas, semua memiliki maksud dan tujuan yang sama, hanya penyampaianya yang sedikit berbeda. Lalu apa maksudnya? yak! beberapa kutipan diatas adalah Golden Rule yang mendasari beragam prinsip-prinsip etika.
Sebelum membaca lebih lanjut kita seharusnya bertanya terlebih dahulu, Apa itu etika? ada banyak definisi mengenai etika, tapi secara umum etika adalah mengenai bagaimana manusia seharusnya berbuat secara “baik”. Salah satu favorit saya adalah mengenai Imperatif Kategoris dari Rasio Praktis Immanuel Kant yang mengatakan bahwa “berbuatlah sebagaimana maxim perbuatanmu diterima secara universal” (Filsafat Modern – F. Budi Hardiman) bahwa dalam berbuat, seseorang harus menimbang terlebih dahulu apakah perbuatan tersebut dapat diterima oleh orang lain atau tidak.
Tapi sayang, teori tersebut sudah dianggap tidak memadai lagi. Bahkan dikatakan kalau Rasio Praktis telah mengalami kebangkrutan (Demokrasi Deliberatif – F. Budi Hardiman) sehingga sudah tidak bisa diterapkan lagi. Pertanyaanya adalah “Kenapa”? jawabanya karena Rasio Praktis terlalu bertumpu pada subyek. Menurut filosof kondang Jerman, JB.Habermas tidaklah cukup kalau setiap orang sendirian memeriksa apakah ia dapat menghendaki keberlakuan universal sebuah norma ( Etika Abad keduapuluh – F. Magniz Suseno). Lalu apa jalan keluarnya? yaitu melalui proses diskursus -musyawarah- yang mengakomodir kepentingan semua pihak.
Etika Lingkungan
Dasawarsa terakhir ini kita sedikit banyak heboh mengenai permasalahan lingkungan. Dari felem dokumenter Inconvenient Truth-nya si Al gore sampai ke Hollywood The Day After Tomorrow. Kalau orang jawa pas panik bilang Lhaiske!! ayo sadar!
Yah harus kita akui ya, semenjak revolusi industri yang dibarengi pemikiran-pemikiran yang bersifat “subyektif” ala modernisme-pencerahan, kita seolah lupa dan terhanyut dalam konsumerisme dan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumi yang katanya berumur 4,5 milyar taun ini (udah sepuh ya).
Positifnya, tema diatas ternyata menghasilkan sebuah antitesis baru: tumbuhnya kesadaran terhadap lingkungan. Persoalan lingkungan jadi urusan para menteri di PBB dan Protokol Kyoto sampai ke Blogger kacangan kayak saya yang aji mumpung sekalian ikutan lomba (ups hehe).
Jadi poin pentingnya adalah, melalui wacana dan diskusi dari yang serius sampai sedehana yaitu : kita bertanggung jawab terhadap bumi yang sudah sepuh ini. Bahwa seharusnya kita bersama sepakat kalau bumi beserta isinya ini harus kita rawat, bukan buat siapa-siapa tapi demi kita sendiri (ingat Rasio Praktis Kant dan Diskursus Habermas diatas). Wacana dan diskursus yang berkelanjutan mengenai lingkungan seharusnya cukup untuk membuat kita aware dan peka pada lingkungan kita sehari-hari.
Terus mas, apa hubunganya sama JuPe yang montok itu? hahaha JuPe adalah JUrus PEncegahan sederhana yang bisa kita terapkan pada our common life.Apa saja yak ini dia :
- Pertama : ingat golden rule mengenai etika : sebelum membuang sampah, meludah, mengumpat, mengotori, sembarangan selalu ingat kalau apa yang kita lakukan itu menyalahi kepentingan dan keselamatan umum, terutama cucu kita besok
- Kedua : selalu ingat ke peraturan pertama :P. Kita pasti nggak terima to, kalau tempat maen masa kecil kita yang ijo royo-royo besok hilang diganti pabrik-pabrik dan asepnya.
Buat yang udah kadung ngiler mbayangke mbak JuPe beneran dari judul diatas, nyoh tak kasih potone sekalian 😛
Selamat Semangat Membumikan Bumi ya !! salam hangat !
Komentar terakhir..