Bertambah satu lagi pekerjaan rumah untuk negeri ini. Pembantaian 30 orang di mesuji karena permasalahan sengketa tanah melengkapi daftar panjang kasus pelanggaran HAM di Indonesia,, menyusul sebelumnya kasus munir, trisakti, dan pembersihan G 30 S PKI oleh orba yang sempai sekarang masih jauh dari terang.
Kebiadaban kasus Mesuji terekam pada video amatir yang menayangkan proses bagaimana korban disembelih layaknya hewan. Pertanyaan yang kemudian muncul: Bisakah kasus Mesuji dilihat sebagai pelanggaran berat HAM? Pelanggaran berat Ham berdasarkan UU no 26 tahun 2000 dibagi menjadi dua; yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pasal 7
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:
a. kejahatan genosida;
b. kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pasal 8
Kejahatan genosida … adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Pasal 9
Kejahatan terhadap kemanusiaan …. adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i. penghilangan orang secara paksa; atau
j. kejahatan apartheid
Sebelum ada penyelidikan lebih lanjut, mungkin akan terasa terlalu dini untuk menjustifikasi kasus Mesuji sebagai pelanggaran berat ham, namun secara garis besar, pembantaian di Sumatera Selatan yang menewaskan 30 orang penduduk sipil mesuji tentu bisa saja ditarik pada pasal 9 UU nomor 26 tahun 2000 (pembunuhan dan pengusiran penduduk Mesuji) dan pembantaian tersebut juga dapat kita katakan telah diatur secara sistematik (ada perencanaan dan dilakukan oleh pihak terlatih) apabila kecurigaan mengenai perusahaan (PT Silva inhutani Lampung) yang menggunakan jasa aparat TNI atau Polri terbukti.
HAM dan Masyarakat Anonim
Article 1 UDHR
“All human beings are born free and equal in dignity and rights.They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood.”
Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia diatas menjelaskan bahwa setiap manusia terlahir bebas dan setara, serta memiliki hak-hak yang melekat, asali, melekatnya hak tersebut melampaui adanya negara. Namun seringkali hak-hak tersebut tidak-lah banyak berguna pada masyarakat yang anonim, yang seolah tidak memiliki kewarganegaraan –pengungsi, masyarakat suku-suku, masyarakat marjinal, yang tidak memiliki akses keadilan- seperti Masyarakat Mesuji, yang mengatakan bahwa laporan sengketa mereka dengan pihak perusahaan tidak ditanggapi oleh kepolisian. Terlebih kecurigaan keterlibatan aparat membuat warga takut untuk mengeksposenya[1] .
Article 2 UDHR
Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status. Furthermore, no distinction shall be made on the basis of the political, jurisdictional or international status of the country or territory to which a person belongs, whether it be independent, trust, non-self-governing or under any other limitation of sovereignty.
Maka hak-hak dasar liberal dalam UDHR-pun menjadi dilematis, apakah hak milik pribadi dan kebebasan individual tersebut justru berfungsi melegitimasi ekspansi vertikal dan horizontal pasar bebas[2] (Mencari keuntungan, kepentingan perusahaan). Benarkah pada kasus sengeta tanah tersebut tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan maupun hukum sehingga memerlukan kekerasan dan bahkan pembantaian? Akumulasi modal mengalahkan solidaritas sosial. Tentu bukan hal demikian yang diinginkan saat Hak Asasi Manusia dideklarasikan.
Untuk membaca Ham sebagaimana yang dimaksudkan dalam UDHR, yaitu manusia yang memiliki hak untuk memiliki hak-hak yang melekat padanya semenjak dia dilahirkan, serta belajar dari pengalaman buruk peristiwa-peristiwa penyimpangan kemanusiaan di masa lampau, maka pengusutan tuntas kasus Mesuji adalah suatu keharusan. Sifat Hak-hak Asasi yang melekat melampaui negara tetaplah memerlukan negara sebagai sumber legitimasi dan instrumen penegaknya. Menunda atau bahkan tidak menyelesaikanya akan membuat ratifikasi UDHR hanya menjadi pajangan konstitusi.
Manusia –meminjam istilah Martin Heiddeger- adalah makhuk yang terlempar pada Ada, Dasein dimana dalam keterlemparan tersebut manusia hidup dengan dunia dan orang lain. Maka dalam hidupnya manusia seharusnya dapat hidup berdampingan satu sama lain dan saling menghargai, apapun instrumenya, entah UDHR, UDHR versi Islam, Hukum, Agama, Pengetahuan, maupun Bahasa.
ralat : UDHR tidaklah perlu diratifikasi karena sifatnya yaitu “Declaration” yang mengikat secara moral atau moral binding.
[2] Hardiman, F. Budi. Hak-Hak Asasi Manusia; Polemik dengan Agama dan Kebudayaan. 2011. Kanisius. Hlm 39.
Komentar terakhir..