“Wok, sudah lama kamu aku tunggu”
Babe, begitu dia biasa dipanggil, telah menunggu saya lebih dari satu jam menyapa dengan gayanya yang flamboyan dan senyum cerianya. Dengan alasan macet yang seadanya, kami mulai agenda hari itu yang sudah terlambat: mengais ingatan dari pengalaman masa lalu melalui foto-foto yang diambilnya dulu. Foto-foto itu, adalah bagian dari hidupnya di Pulau Buru, ketika ia menjalani empat belas tahun masa sebagai tahanan politik, yang sebagian besar dia habiskan di Pulau Buru, berangkat dengan Kapal Adri 15 dan ditempatkan di unit III.
Sebagian foto-foto itu, dia bilang, dia serahkan pada Pram dan digunakan dalam “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”. Babe adalah satu-satunya orang yang memiliki kamera sewaktu di Pulau Buru, dan bisa menggunakanya dengan leluasa. Tidak hanya kamera, dia juga memiliki alat rekam suara –yang sayangnya kini entah dimana- yang juga dipergunakan olehnya untuk wawancara kawan sesama tahanan dan perempuan jugun ianfu selama di Pulau Buru. Keduanya, dia bilang, dikirimkan oleh ibunya dengan bantuan dari seorang romo gereja. Seluruh hasil foto dan rekaman itu, kalau tidak salah, telah diserahkan pada Pramoedya.
Awalnya, saya mengenalnya dari empat tahun yang lalu, saat peringatan hari HAM di Semarang, dan entah bagaimana, kami menjadi begitu akrab layaknya seorang cucu dengan kakeknya. Kemudian, Babe, bersama dengan kawan-kawan di Semarang dan Kendal, kami sempat pula melakukan kerja bersama berupa memorialisasi kuburan masal di Plumbon, Semarang, tempat belasan hingga puluhan orang dibunuh karena peristiwa 1965. Beberapa tahun lalu, saya sempat pula merekam dan mencatat kisah hidupnya, dan pada saat itulah saya ditunjukan koleksi foto-fotonya di Pulau Buru. Baru belakangan, bersama dengan kawan-kawan lain, muncul rasa penting untuk membuat semacam catatan khusus atanya, untuk merekam ingatan dari tiap-tiap foto yang dulu diambilnya serta mengawetkanya dalam bentuk digital.
Sore itu, rokok mulai dinyalakan, dan dia mulai bercerita tentang bagaimana dia mendapatkan kamera dan bagaimana dia dapat menggunakanya dengan “bebas”. Selanjutnya, Babe bercerita tentang bagaimana ingatan dia pada setiap foto. Pada setiap foto itu, cerita Babe selalu meluas dan keluar dari fokus, namun kami pun enggan membuatnya berhenti karena setiap keping ingatan itu begitu penting untuk dilewatkan. Dan disinilah rupanya, saya menemukan harta karun yang demikian berharga, setidaknya ada dua yang disampaikan di sini.
Babe bercerita bagaimana dia –dan para tahanan lain- diperlakukan dengan semena-mena; dipukuli, kerja paksa, dan lain sebagainya. Dia bercerita bagaimana susahnya hidup sebagai tahanan politik di Pulau Buru dan bagaimana dia bertahan hidup sembari pula menyembunyikan dan mewartakan kisah-kisah buatan Pram pada tahanan di unit lain. Diantara foto-foto tersebut, terdapat beberapa foto yang menarik; foto dirinya dengan para pegawai di Pulau Buru yang dengan berfoto bersama dengan ceria, juga foto dengan senyum terkembang mandi bersama para penjaga. Kami tentu bertanya, bagaimana ini bisa terjadi? Dan dia bercerita lagi, bahwa awalnya, ketika tahanan politik datang, petugas dan -penduduk setempat- telah diberitahu bahwa mereka yang datang itu adalah para penjahat yang buas yang bahkan bisa memakan sesama manusia bilamana lengah. Itulah, katanya, yang membuat penjaga begitu bengis pada mereka. Namun, seiring waktu, ucapan itu tidak terbukti. Para tahanan politik justru banyak membantu penduduk setempat dan bahkan bisa bersahabat dengan para penjaga. Dengan para penduduk, ujarnya, “sudah lebih dari saudara” dan menangis ketika melepas kepulangan mereka. Sementara itu, dengan para penjaga, mereka bahkan terkadang menggantikan mereka berjaga, lengkap dengan pakaian dan senjatanya, sementara petugas bisa tidur dan beristirahat. Foto itu menunjukan bahwa kehidupan di Pulau Buru juga tidak hitam putih. Diantara segala siksaan dan nestapa, ada persahabatan yang bisa menembus sekat.
Selanjutnya, dalam salah satu foto, Babe bercerita keluar jauh dari konteks foto itu. Dia bercerita bahwa seharusnya, air matanya telah habis untuk penderitaanya di Pulau Buru. Namun, dia selalu teringat akan mendiang istrinya yang meninggal. Babe bercerita bahwa dia dapat menangis sampai lima kali sehari apabila teringat istri yang sangat dicintainya, yang membuatnya sering menyebut nama sang istri dalam berbagai kesempatan. Babe yang biasanya tenang –bahkan ketika bercerita mengenai penyiksaan sekalipun-, ceria, dan selalu tersenyum sempat terhenti. Dia melepas kaca-mata dan menyeka air mata yang keluar. Jeda barang satu atau dua detik itu, membuat saya melihat sisi dari Babe yang paling manusiawi. Sebelum akhirnya kembali tersenyum dan melanjutkan bercerita. Jadi, diantara mimpi buruk akan interogasi yang juga selalu menghampiri, akan siksaan dan pertanyaan-pertanyaan seperti “dimana kamu sembunyikan senjata?”, “apa kamu bersiap memberontak?” dan lain sebagainya yang disertai dengan perlakuan kejam, bayangan akan sang istri juga sering hadir, menyelingi mimpi buruk dari masa lalunya.
Melalui foto dan kisah yang dihaturkan oleh Babe, saya melihat setidaknya ada dua hal; pertama, bahwa ada persahabatan yang melampaui sekat. Kedua, dan barangkali yang paling penting, bahwa orang-orang seperti Babe, yang merupakan seorang yang terikat dengan masa lalunya yang penuh siksaan, juga memiliki beban personal dari bagian hidupnya yang sangat manusiawi; kisah cintanya karena ditinggal mati sang istri. Melalui foto dan kisah yang dituturkan, Babe sekaligus membuktikan, label yang menyatakan bahwa para tahanan politik adalah setan beringas yang tidak berperasaan, sudah batal dengan sendirinya. Bahwa para (mantan) tahanan politik bisa menjadi sahabat yang begitu baik, bahwa mereka juga manusia biasa, yang bisa merasakan sakit ketika disiksa, juga merasa merana ketika ditinggal orang yang mereka cinta.
Komentar terakhir..